Drie

112 20 5
                                    

Tiga

Hompimpah alaihum gambreng—-

Setelah melalui undian hompimpah, Sapto,  Jali dan Satori berada dalam satu grup. Sementara Ujang,  Ridwan dan Ucup berada di tim lain.

Anak-anak kecil itu memulai menggaris tanah dengan air yang diambil dari sungai dekat mereka menjadi tiga petak. Mereka menggunakan air sebagai media garis agar garis tidak mudah hilang. Jika hanya digaris menggunakan ranting pohon, diinjak oleh mereka saja garisnya akan hilang.

Mereka tidak akan bermain gobak sodor yang rumit. Cukup menggambar tiga garis kebelakang dengan jarak kurang lebih satu setengah meter dan dua garis di samping hingga membentuk kotak untuk menutup batas agar tidak melebar kemana-mana saat bermain.

"Garis yang lurus, bahlul!" teriak Ucup pada Sapto. Ucup melihat garis yang digambar Sapto bergelombang tidak jelas.

Sapto buru-buru menghapus garis yang tercetak dengan air itu menggunakan tanah yang tidak tersiram air. Kemudian menggaris ulang dengan berjalan mundur, dan berusaha keras untuk tetap lurus.

Ucup menghela napasnya dengan kencang, merasa kesal melihat garis yang digaris ulang oleh Sapto sama saja bergelombangnya. Sudahlah, abaikan saja!

Dan permainan dimulai begitu garis sudah selesai digambar.

Di dalam kotak, jika penjaga depan dan belakang bersatu mengincar satu orang, tangan penjaga-penjaga itu akan dengan mudah mencapai tubuh pemain. Jika tubuh pemain dapat digapai, selesai lah permainan, dan berganti tim untuk menjadi pemain dan penjaga.

Kenapa kotak tidak dibikin lebih besar? Karena itu lah keseruan permainan itu. Pemain harus bergerak terus, berjalan menyamping layaknya kepiting jika perlu agar tidak mudah digapai. Dan jika penjaga hanya fokus pada satu pemain itu, pemain lain bisa menerabas hingga ke belakang agar bisa mencapai kemenangan. Tetapi para penjaga tidak akan mudah begitu saja tim pemain untuk mencapai kemenangan.

Di dalam permainan itu penjaga dan pemain harus seimbang jumlahnya. Tujuannya agar penjaga dapat menjaga masing-masing pemain agar tidak menjebol 'gawang'. Berbagai trik tipuan dilayangkan untuk memecahkan konsentrasi baik oleh pemain maupun penjaga. Jika konsentrasi mereka buyar, bisa dipastikan pemain itu lolos atau pemain itu tersentuh badannya oleh penjaga.

Di sisi lain, Willem melihat ke arah tanah kosong dekat sungai. Di sana ramai kicauan anak-anak yang sedang bermain. Anak-anak pribumi itu nampak sangat asik bermain permainan di mana ada tiga anak yang seperti menjaga garis membentuk kotak-kotak, dan tiga anak lainnya berusaha masuk ke kotak yang dijaga oleh anak-anak di garis itu. Si anak-anak yang hendak masuk kotak, berdiskusi dengan cara yang ekstrim, berteriak, saling memaki.

Willem yang melihat itu dari kejauhan terkikik geli saat melihat Sapto ditoyor oleh temannya karena dia telah tertangkap oleh anak-anak yang menjaga garis.

Willem sangat penasaran apa permainan yang sedang anak-anak kumal itu lakukan. Teriakan gembira dan makian mereka sampai terdengar di teras rumahnya dan mengganggu kegiatannya yang sedang mengerjakan tugas sekolah.

Nanti aku tanyakan ke Sapto saja, jika dia sudah kembali.

Di lapangan, permainan telah usai dengan skor 2-1 yang dimenangkan oleh tim Ujang. Biang kerok tim yang kalah adalah Sapto. Jali sampai berkali-kali menoyor Sapto yang selalu gegabah hingga dengan mudah badannya digapai penjaga. Dari Sapto yang tidak bisa mengerem larinya, berhenti tepat satu jengkal di depan Ridwan yang menjaga, dan Sapto yang dikepung oleh Ujang dan Ridwan satu kotak menuju kemenangan. Tim Ujang tidak pernah berganti posisi, pasti garis paling depan diisi oleh Ujang, di tengah oleh Ridwan, dan yang paling belakang oleh Ucup. Sedangkan tim Sapto selalu berganti formasi selama tiga babak permainan.

Ujang melihat Meneer Willem menatap ke arah mereka bermain. Ujang menyikut lengan Sapto. Dengan dagunya dia menunjuk ke arah Meneer Willem.

"Meneer Cilik itu suka menggagu, lu, gak, Sap?" tanya Ujang.

Sapto menggelengkan kepalanya, "Meneer Willem baik anaknya, gak suka nakalin gua."

"Tumbenan amat itu londo, gak jahat," sahut Ridwan.

"Kayaknya itu Meneer, penasaran banget deh. Tadi gue lihat, gak lepas-lepas pandangannya dari kite-kite." Ujang merebahkan badannya di tanah. Diikuti oleh Sapto, Ridwan, Ucup, Satori, dan Jali. Mereka tak mengindahkan prasangka Ujang karena saat ini yang dibutuhkan adalah rebahan. Lelah sekali rasanya bermain slodoran ide dari Ridwan yang baru saja beberapa hari menginjakkan kaki di Batavia dari Jawa. Nama permainan itu gobak sodor, tetapi karena Ucup diubah menjadi slodoran. Katanya terlalu ribet, mending diambil dari kata terakhir saja.

"Gerah banget, ya, teman-teman?" ucap Ucup pada temannya.

"Gimana kalau kita main air di sungai?" usul Sapto yang langsung diamini oleh teman-temannya.

Mereka serempak membuka kaus lusuh lalu menyampirkan begitu saja pada dahan pohon mangga yang terjulur rendah. Setelah selesai, mereka susul menyusul menceburkan diri ke dalam air sungai yang jernih.

Tingkah anak-anak yang saling menjahili satu sama lain di dalam air sungai itu membuat sebersit rasa iri pada anak laki-laki yang duduk sendiri menyaksikan di teras rumahnya. Senyum masam terpasang jelas di bibirnya. Andai dia tidak berbeda sendiri, atau dia hidup di negara aslinya, kemungkinan masa kecilnya yang bahagia itu ada. Seperti mereka.
———

"Kenapa, kakak tidak ikut main saja bersama Sapto dan teman-temannya!" ujar Annalies pada Willem setelah Willem mengutarakan pemikirannya pada Anna. Jika saja Anna tidak menangkap basah dia sedang menatap ke arah anak-anak pribumi itu bermain, dia akan segan menceritakan pemikirannya yang merasa kurang bahagia, dan merasa hidup di tempat yang tidak seharusnya.

"Untuk informasi saja, aku selalu meminta Sartiwi berada di dekatku, karena aku tidak suka merasakan kesepian, Kak. Asalkan Kakak tahu, aku ini tidak mudah bergaul dengan teman-teman di sekolah karena aku merasa mereka sama superiornya denganku. Sedangkan saat aku bersama Sartiwi, aku bisa memberikan informasi-informasi yang aku tahu.
Dan kau tahu? Ekspresi Sartiwi saat aku memberikan informasi adalah hal favoritku. Sartiwi benar-benar seperti kanvas kosong, yang bisa aku isikan warna apapun di dalamnya.

Seperti yang kamu rasakan, Kak, aku pun merasa kalau aku seperti hidup bukan di tempat seharusnya. Lagi pula, tidak ada salahnya kita bergaul dengan mereka. Kita semua sama makhluk Tuhan. Hanya derajat yang ditentukan oleh manusia yang menjadi sekat. Padahal di mata Tuhan kita ini sama. Tuhan hanya melihat isi amal kita selama di dunia," lanjut Anna. Willem menatap Anna kagum. Sungguh, dia hanya tidak berjumpa beberapa hari, tetapi kenapa Anna menjadi sangat dewasa pemikirannya melebihi cara berpikirnya.

Willem jadi berpikir, apakah jika tidak ada Sartiwi di sisi Anna, Anna akan merasakan apa yang dia rasakan sekarang. Sepi. Sendiri di dunia yang ramai ini. Dia yang laki-laki saja sampai rasanya kalut sekali, Willem tidak jadi membayangkan keadaan Anna jika demikian. Bisa lebih parah darinya.

Sapto berjalan sedikit membungkukan badan saat akan melewati Tuan muda dan Noni yang sedang bercengkrama di depan teras rumah Tuan mudanya. Badannya saat ini basah kuyup karena bermain air di sungai bersama teman-temannya. Kakinya yang kotor karena terkena lumpur dan debu itu berhenti tatkala mendengar namanya dipanggil oleh Tuan Mudanya.

"Setelah bersih-bersih, segera menghadap ke saya, Sapto."

Sapto menganggukkan kepalanya takzim lalu segera pamit undur diri untuk membersihkan badannya.

Ide Anna sangat berlian.

———

KindertijdTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang