Lima
Perjalan yang baru saja dilalui adalah hasil dari negosiasi dua pihak antar Willem dan oSapto yang mewakili kawan-kawannya. Willem ingin ikut masuk ke dalam permainan yang selama ini dilihatnya begitu mengasyikkan. Willem sangat penasaran melihat tawa yang begitu lepas dari anak-anak yang nasibnya jauh di bawah dia. Dan rasa penasaran itu terjawab saat melihat mereka bermain. Biarpun badan mereka lelah selepas diperas tenaganya, namun mereka masih bisa melakukan aktivitas yang sama melelahkannya, tetapi menimbulkan kebahagiaan.
Tawa lepas. Seingat Willem, dia belum pernah tertawa lepas seperti mereka saat bermain dengan teman-temannya. Di sekolah, Willem memang mempunyai beberapa teman. Namun, mereka berteman pun tetap saja bersaing. Bersaing nilai. Bersaing agar dipuji guru-guru. Saat berolahraga pun, dia tidak bisa mendapatkan keasyikkan saat menjalankannya. Di otak Willem dan teman-teman di sekolahnya adalah nilai, nilai, dan pujian guru.
Dan kebahagiaan. Jelas dia tidak mendapatkannya dari teman-teman di sekolahnya. Jika mendapatkan kado ulang tahun atau kado Natal dari orangtuanya adalah kebahagian, kenapa hanya sebentar dia merasakannya?! Kenapa tidak ada tawa lepas saat mendapatkannya? Entahlah, dia ini tidak beruntung atau tidak pandai bersyukur.
Saat Willem melihat Sapto dan kawan-kawannya, seolah mereka tidak mempunyai beban. Mereka terlihat hanya anak kecil yang sedang menikmati masa kecilnya dengan bermain. Padahal mereka anak-anak kecil yang bekerja keras karena kondisi mereka yang memang kelas paling bawah. Bahkan beberapa dari mereka adalah budak yang tidak memiliki orangtua. Apa dia harus tidak memiliki orangtua agar bisa merasakan kebahagian seperti mereka?
Willem benar-benar tidak pandai bersyukur!
Oleh sebab itu, dia menyetujui permintaan Sapto yang mewakili kelima temannya itu untuk mengajarinya belajar membaca, menulis, dan berhitung. Dia akan meluangkan waktunya di hari Minggu untuk mengajari mereka. Willem bertanya-tanya, Sapto dan teman-temannya itu mendapatkan ide dari mana atau dari siapa, hingga tiba-tiba Sapto berani mengajukan syarat itu agar Willem bisa masuk ke kelompoknya.
———Seminggu sebelumnya, Sartiwi mendengar pembicaraan Nyonya Beatrix dan Meneer Jensen saat dia sedang membersihkan hiasan-hiasan koleksi majikannya.
Dari yang ditangkap oleh otaknya, karena pembicaraan mereka kebanyakan menggunakan bahasa Belanda, dia hanya menangkap sedikit maksud pembicaraan mereka, karena memang kosakata bahasa Belanda yang dimengerti tidak banyak.
"Kita harus bersiap-siap untuk pulang ke Netherland. Di sini sudah mulai banyak pergerakan separatis dari rakyat pribumi. Sekarang rakyat pribumi sudah banyak yang pintar. Sudah mulai kritis. Orang kita, Dekker, dia lebih membela rakyat Hindia dengan mengkritik habis kebijakan pemerintahan kita," kata Nyonya Beatrix.
Sartiwi mendadak sedih saat mendengar keluarga ini akan mulai bersiap untuk meninggalkan Batavia. Dia sedih, bagaimana Anna nanti tanpanya. Begitu pun dia tanpa Anna. Sartiwi sangat menyayangi Annalies, si balita yang berhenti menangis kemudian tertawa saat dia terjatuh tidak sengaja di depan balita itu. Semenjak itu, Anna selalu mengikuti kemana langkah Sartiwi hingga saat ini. Anna akan menangis jika Sartiwi mengabaikan kehadirannya.
Annalies, tingkahnya sama persis dengan almarhum adiknya yang meninggal karena kelaparan. Keluarganya benar-benar miskin, tidak bisa menghidupkan kompor sama sekali hingga anak-anaknya menangis kelaparan, bahkan si bungsu mati karena tidak sanggup menahan lapar.
Andai saja saat itu Tuan Vanhouten tidak memberikan pekerjaan pada kedua orangtuanya dan membolehkan mereka sekeluarga tinggal di rumah megah mereka, pasti nasib Sartiwi sama seperti adik bungsunya—-mati karena kelaparan.
Mengesampingkan perasaan sedih yang menggelayuti hatinya. Tiba-tiba dia terpikirkan ide untuk meminta Anna agar mau mengajarinya serta teman-temannya membaca, menulis, dan berhitung. Ilmu dasar dari segala ilmu. Selama ini dia tidak pernah memanfaatkan Anna biarpun dia sering menawarinya berbagai macam hal. Apakah Anna akan bersedia jika dia meminta untuk memberikan ilmu sedikit saja?
Setelah selesai mengerjakan pekerjaannya, serta sudah memastikan Anna sedang tidur siang, Sartiwi pergi ke rumah di mana Sapto bekerja. Tetapi, yang dicari tidak ada.
"Sapto main di kali depan, Tiw," kata ibu Sapto. Sartiwi mengangguk undur diri untuk menemui Sapto.
Di lapangan, Sartiwi melihat Sapto dan teman-temannya sedang bersenda gurau. Saat dia mendekat, teman-teman Sapto menyambutnya dengan ejekan.
"Wih, calon istri Sapto datang. Ada apa kemari, Ibu Sapto?" ejek Jali. Dia suka sekali menjodoh-jodohkan orang.
"Sap, teman-teman, begini, saya mau mengatakan sesuatu—-" Sartiwi menceritakan yang telah didengar dari pembicaraan majikannya kepada teman-temannya. Dia juga menceritakan cara mengubah dunia mereka adalah dengan ilmu pengetahuan, sesuai yang pernah diceritakan oleh Annalies. Minimal manusia itu harus bisa membaca, menulis, dan menghitung.
———"Kenapa, Tuan Willem?" tanya Sapto. Tubuhnya sudah bersih dari lumpur sekarang.
"Saya mau ikut bermain denganmu, boleh?"
Sapto mengerutkan dahi. Dia merasa bingung dan aneh mendengar ucapan Tuan Mudanya ini.
"Ma—maksudnya, Tuan?"
"Saya ingin bermain denganmu. Seperti Annalies dan Sartiwi. Apa boleh saya selalu ikut bermain denganmu?" Willem bertanya lagi dengan sabar.
Sapto masih diam. Dia bingung harus menjawab apa. Jika dia menolak, apakah Willem akan marah dan berubah jahat padanya? Tetapi, tidak ada salahnya juga Willem ikut bermain dengannya. Toh, Willem mempunyai kaki sendiri, jadi dia tidak perlu menggendong atau apapun yang dapat menghalangi ruang geraknya saat bermain. Tapi, apa mungkin?
"Jika diperbolehkan, saya akan mengabulkan satu permintaanmu." Willem memberikan penawaran untuk meluluhkan hati Sapto. Sebenarnya Willem tidak perlu sampai berusaha seperti itu. Bisa saja dengan kekuasaannya memaksa Sapto untuk mengajaknya bermain. Tetapi, Willem bukan orang seperti itu. Willem lebih menyukai jika semuanya merasa senang menerima dengan lapang, bukan salah satu pihak saja.
"Apapun, Tuan?"
"Iya, apapun!"
Tiba-tiba teringat perkataan Sartiwi di lapangan tadi, bahwa pendidikan bisa mengubah nasib orang. "Jika aku meminta Tuan untuk mengajari kami membaca, menulis, dan berhitung, apakah Tuan menyanggupi?"
Sungguh? Hanya ini permintaan Sapto? batin Willem terkaget. Tentu saja dia bersedia mengajari mereka pelajaran dasar tersebut.
Dan di hari Minggu yang cerah mereka berkumpul di salah satu paviliun rumahnya. Sudah dipastikan orangtuanya tidak akan sadar bahwa Willem telah mengumpulkan beberapa anak pribumi karena letak paviliun yang jauh dari rumah utama.
Bermodal papan tulis kecil dan kapur warna-warni yang dimilikinya, serta buku tulis kosong yang sudah tidak ia pakai, ia bagikan kepada tujuh anak didiknya. Sapto, Sartiwi, dan kelima teman Sapto.
"Jadi sekarang kita belajar me—-"
"Berhitung dulu, Tuan!" seru Satori memotong kalimat pembuka Willem.
"Gua sudah gak tahan dibohongi terus oleh Qorun dari Belanda itu," keluh Satori.
Willem mengangguk.
"Oke, Satori. Jadi, saya di sini akan mengajarkan kalian pelajaran dasar yaitu membaca, menulis, berhitung, dan tata krama," ucap Willem mengulang kalimat pembukaan kelas yang sempat terjeda. "Keempat pelajaran itu sangat penting dan sangat berguna untuk kalian ketahui. Baiklah, karena Satori sudah meminta untuk belajar menghitung dulu. Mari kita mulai," tutupnya.
###
Dengan ditutupnya kata pembukaan kelas yang telah disampaikan oleh Willem, berakhirlah sudah cerita ini. Jika terus-terusan dilanjut, Kakek Willem yang berumur 89 tahun di tahun 2020 ini bisa pingsan karena mengoceh terus.
Oke sudah malam, selamat bobox.
#piss
KAMU SEDANG MEMBACA
Kindertijd
Historical Fiction"Kek, ceritain masa kecil kakek, dong." ---- Mini Ipen Peso 2020 - Tim C Tema : Gobak Sodor Genre : His-Fic -190620-