4-5 Tahun Terakhir

74 3 0
                                    

Hai, bertemu lagi dengan Mercapada. Selamat pagi/siang/sore/malam!

Gue nulis ini saat kere, gak punya paket internet. Dan ketika gabut menyerang, gue berjibaku mencari ide yang membuat gue ada pekerjaan, gak kayak pengangguran.

Enjoy! Happy reading! I love you all! I love you, Jovic---dalem ati. Ehe ....

• • •

Dalam balutan jaket denim hitam, celaja jin senada, sepatu kets perpaduan abu-abu dengan putih, serta rambut cokelat tua yang disanggul tinggi, Gantari bersicepat memasuki kafe di jalan Melati.

"Arah jam 9," ujar pria di seberang sambungan. Gantari mengelap peluh pada dahi dahulu dengan punggung tangan sebelum menerawang ruangan.

"Ketemu!" seru Gantari seraya melambaikan lengan kanannya menyambut senyum cerah orang yang menunggunya di sana. Ia lekas memutuskan sambungan telepon dan sedikit melompat pada undakan menuju lokasi. Ah, Gantari senang sekali.

"Maaf terlambat, David. Kau pasti sudah menunggu lama, 'kan?" Gantari menampilkan wajah tak enak yang tampak lucu di mata David. Mereka terlihat akrab tatkala melakukan gerakan tos ala pria.

"Ah, tidak masalah," tukas David sembari melirik kursi di seberangnya, menitah Gantari segera duduk.

"Sorry, Tari. Aku sudah memesankanmu kopi dan makanan selagi menunggu tadi. Apa kau suka?" tanya David harap-harap cemas.

Ditempatnya Gantari hampir terjengit. Dwinetra sewarna cokelat terang milik Gantari memandang kudapan dan wajah David secara bergantian. "Fantastis! Kau masih ingat kesukaannya akan exspresso dan iga bakar? Katakan ini hanya kebetulan, Dave," ujar Gantari berbinar-binar.

David melenguh lega. Pria itu terkekeh elegan dan kembali tersenyum lebar. "Tentu aku takkan lupa walaupun kita berpisah selama empat tahun," terangnya, kembali menyandarkan punggung.

Gantari ikut terkekeh. "I see." Kemudian ia mulai menyantap kudapan dengan tenang. Tidak tergesa-gesa.

"Bagaimana perjalananmu selama kemari? Jangan bilang mabuk udara!" Gantari meneliti wajah dan jaket David. Siapa tahu menemukan bekas muntah di salah satu sisinya.

"Hey, Aku sudah biasa melakukan perjalanan udara!" protes David. "Omong-omong, aku kece, kan, langsung menemuimu setelah perjalanan jauh?" Kedua alisnya naik-turun minta digampar.

"Ya, ya, Mr. Adickson," balas Gantari malas. "Eh, tapi mau tahu sesuatu gak? Aku sebenarnya waswas kalau kau bukan David, tetapi imitasi dengan teknologi yang luar biasa canggih atau orang yang sedang menyamar untuk menjebakku."

"Kau masih sama seperti SMA dulu," kata David terpingkal-pingkal, mengundang tatapan sinis Gantari. "Tomboy dan lucu."

Gantari ingin membalas pujian David, "Oh, kau juga sangat lucu, Dave!" Tapi urung diutarakan. David sama sekali tidak lucu dengan garis wajah tegas dan gantengnya---mari kita sangkut pautkan dengan tampang, bukan perilaku. Maka yang terucap, "Begitukah? Kukira kau akan mengataiku preman ...," komentarnya, "... ya, tapi makasih lho."

David terenyum sangat indah dan lebar, sampai-sampai Gantari beropini bibirnya bisa robek seketika. Ah, duduk berdua bersama Gantari mengingatkan David pada masa SMA dulu. Mereka sering keluar bersama dan lengket saat di sekolah. Tak sedikit yang mengira mereka berpacaran. Namun setelah lulus, David melanjutkan kuliah di luar negeri dan berpisah dengan Gantari selama study. Mereka hanya berkirim pesan dan bertatap muka secara online.

"By the way, Dave, kau tampak lebih keren sekarang," puji Gantari sungguh-sungguh.

David mengangkat sebelah alisnya dengan gaya pongah yang dibuat-buat. "I know. Jaket kulit ini aku beli di fifth avenue, tahu. Apa warna cokelat bagus untukku?" Gantari mengangguk cepat. "Apakah pomade-ku berlebihan?" Gantari spontan menggeleng. "Dan aku bertambah ganteng?" Lagi, Gantari mengangguk. "Oh ... kau tampak imut, sungguh!" Dave meraih ubun-ubun Gantari. Mengacak surainya gemas sebelum perempuan itu menepis tangannya tak suka. "Ini sunggu kau!" riangnya, tidak peduli delikan Gantari. "Kau tidak suka ada yang mengacak rambutmu!"

Obrolan Suatu PetangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang