Cowok itu masih bergelung dengan selimutnya. Seakan enggan untuk meninggalkan kasur ternyamannya. Dia adalah Gavin. Tukang molor. Eh, ralat. Susah dibangunin. Eh, sama saja ya?
Gavin mengucek matanya, sinar matahari menembus pada kedua iris mata cokelatnya. Tak ingin berlama-lama, karena dia tahu konsekuensinya. Dia mengacir ke kamar mandi untuk melakukan ritual paginya.
Kemudian cowok itu bersiap - siap.
Baju rapih ceklist✅
Dasi plus sabuk ceklist✅
Rambut acak - acakkan tetep tampan ceklist✅
Naya membalas perasaannya...
"Belum anjer!" serunya ketika ia mengingat hal itu.
"Eh, kalo belum berati masih bisa berjuang dong, yakan?" tanya Gavin pada dirinya sendiri.
"Ah iya dong!" Gavin kembali berseru.
Menatap sebentar kearah cermin, kemudian mengedipkan sebelah matanya.
Gavin turun dari kamarnya menuju ruang makan. Terlihat Renata dengan Ardi yang sudah dimeja. Menyiapkan makanan yang akan mereka santap untuk sarapan hari ini.
"Tumben udah bangun," sinis Renata ketika menangkap anak semata wayangnya menarik kursi dan mendudukkan dirinya didepan kursinya.
"Keep calm, mom."
"Alah, sok inggris kamu." Sahut Ardi.
Gavin bersecak sebal. "Salah mulu gue," gumamnya.
"Jangan ngedumel mulu."
"Iya pa, iya. Gavin mah selalu salah, udah iya. Gavin salah, maaf. Gavin mah gak pernah bener dimata kalian, udah bangun, salah. Kebo, juga salah. Kapan sih anak yang tampan nan gagah ini benar dimata kalian?" cerocos Gavin yang dihadiahi tatapan mendelik kedua orangtuanya.
"Ngomong terus," sahut Renata menye-menye.
"Sepertinya gue anak tiri."
****
"Van, buruan. Nanti telat!" desak Naya.
"Jangan ngeburu-buru kenapa, sih! Kalo jatuh gimana?!" Kevan meninggikan suaranya karena suara bising yang berasal dari motor besar dan kendaraan lainnya.
Naya memutar matanya jengah. Bukan apa - apa, hanya saja waktunya tinggal dua puluh menit lagi. Apakah mereka akan sampai? Sementara jalanan yang cukup macet dan Kevan yang mengendarai motornya seperti siput.
"AAAAAAA! KEVAN BEGO!" pekik Naya ketika Kevan menambahkan laju motornya begitu saja. Dengan refleks Naya memeluk erat punggung Kevan. Sialan!
Nafas Naya masih terengah - engah. Dia masih shock apa yang Kevan lakukan tadi.
"Ekhem!" Kevan berdeham ketika Naya masih setia memeluk punggungnya. "Udah sampe Nay, gak telat juga," lanjutnya.
"SIALAN! LO KALO MAU MATI JANGAN NGAJAK - NGAJAK GUE!" pekik Naya.
"Ebusett, apaan nih. Pagi - pagi udah teriak - teriak," sahut Gavin yang baru saja memarkirkan motornya disamping motor Kevan.
Naya tak begitu peduli dengan ucapan Gavin. Ia malah turun dari jok belakang motor Kevan. Lalu memukul tangan Kevan lumayan keras. Membuat sang empu meringis.
"Sadis amat," desisnya.
"Bodo!"
****
Lapangan sekolah kini dipenuhi oleh murid XI IPA 1. Kelas Naya yang berati kelas Gavin juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
ES BATU [ New version ]
Teen Fiction[ SUDAH DI REVISI. ] "Nah kan, yang ini es, yang itu batu. Kita cuma butuh air panas." "Apa hubungannya, Udin!" "Dengerin! Es kan butuh yang panas-panas biar cair. Nah, kalo batu butuh air buat ancurinnya." Ucapan lelaki itu membuat lelaki yang satu...