—“Hati tahu mana yang patut untuk diperjuangkan dan mana yang patut ditinggalkan.”—
Sebulan tanpa Naya bagai kan seabad bagi Gavin, ia belum sempat meminta maaf kepadanya dan menjelaskan semuanya. Setiap ingin pergi ke sekolah, rasanya hampa dan sepi. Apalagi sang Ibu yang terus marah-marah.
"Ma, Gavin gak mau sekolah ah," rengeknya kepada sang Ibu, tangannya ia satukan, memohon agar Renata mengizinkannya.
"Jangan macem-macem kamu!"
"Ya habisnya tas sama sepatu Gavin gak baru! Jadi males, kan sekolahnya."
"Itu masih bagus Gavinno!"
"Yaudah, gak mau sekolah!" rajuk Gavin, kepalanya ia alihkan ke arah lain seakan malas menatap wajah Renata.
"YAUDAH SANA, GAK SEKOLAH!" pekik Renata yang mulai kesal. Menghela nafas, lalu dibuang perlahan. Tangan kanannya sibuk mengelus-elus perutnya yang sudah membuncit.
Gavin melongo tak percaya. "YES!"
"TAPI, JANGAN HARAP BISA TIDUR DISINI!"
"Hah?" Kata itu spontan keluar dari mulur Gavin. Wajahnya yang tadi berseri kini jadi memelas.
Renata malah menganggukkan kepalanya. "Tidur dikolong jembatan kalau bandel, gak nurut sama mama."
"MA! Gavin bercanda," ujar Gavin dengan wajah memelas.
"Sama, mama juga." Detik berikutnya Renata malah terbahak.
Ardi datang dari arah kamar, menghampiri istri dan anaknya yang telah duduk dimeja makan untuk melakukan sarapan bersama.
"Kenapa pada berantem? Masih pagi juga," ujarnya.
"Tuh, anak kamu yang minta aneh-aneh." Adu Renata.
"Eh! Gavin cuma minta sepatu sama tas baru aja, masa gitu doang minta aneh-aneh sih."
"Kaya anak SD aja kalau naik kelas harus serba baru," cibir Renata.
"Jangan salah, anak SMA banyak kok yang kaya gitu."
Ardi menggelengkan kepalanya. "Sudah, nanti kamu beli. Lagian, kenapa jadi malas sekolah? Biasanya semangat banget mau berangkat tuh, mana pas sarapan suka senyum-senyum liat HP."
"Ditinggalin doi, pa." Bukan, bukan Gavin yang menjawab. Melainkan Renata.
Ya, Gavin sudah bercerita kepada Renata tentang pertengkarannya dengan Naya yang berakhir Naya meninggalkannya.
"Kemana? Diambil sama orang lain? Kenapa gak ambil balik aja? Ribet banget kamu, Vin."
"Ke Inggris." Lagi, Renata menjawab pertanyaan Ardi. Setelahnya malah tertawa terbahak-bahak seolah penderitaan anaknya itu adalah kebahagiaan tersendiri.
"Mama bahagia liat Gavin terluka?" lirih Gavin, ikut ke dalam drama yang dibuat Renata.
"Huss, sembarangan. Lucu aja percintaan anak zaman sekarang."
Gavin menghembuskan nafasnya.
"Pa, Gavin boleh, kan memperbaiki kesalahan Gavin ke Naya?"
"Ya, harus dong, jadi laki-laki harus gantle man, jangan enaknya doang, apalagi kamu anak papa."
"Nah, maka dari itu. Gavin mau nyusul Naya ke Inggris, boleh?"
"Gak!" Dengan serentak Jessie dan Ardi berkata demikian.
"Yah," pasrah Gavin.
"Habiskan sarapan kamu, terus berangkat. Tidak ada penolakan, Gavinno."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
ES BATU [ New version ]
Teen Fiction[ SUDAH DI REVISI. ] "Nah kan, yang ini es, yang itu batu. Kita cuma butuh air panas." "Apa hubungannya, Udin!" "Dengerin! Es kan butuh yang panas-panas biar cair. Nah, kalo batu butuh air buat ancurinnya." Ucapan lelaki itu membuat lelaki yang satu...