"Melupakan sesuatu, tidak semudah membalikan telapak tangan."
.
.
.
Dengan perlahan Nasya mengerjap, menyusaikan cahaya yang masuk, melalui gorden jendela rumah sakit, gadis cantik namun terlihat pucat itu, melihat ke penjuru arah, tempat di man dirinya di rawat.
" Dimana ini, bukanya aku akan bertemu papa"Ucapnya lirih, masih dengan pandangan mengamati sekitar, hingga suara pintu terbuka, mengalihkan pandanya Nasya.
Di sana berdiri seorang pria paruh baya lengkap dengan jas putihnya dan seorang suster di belakangnya.Pria paruh baya itu, tersenyum ke arah Nasya, Nasya hanya diam, tidak ada niat sedikitpun membalas senyuman pria itu. Entah mengapa sekarang tersenyum adalah hal sulit yang di lakukan untuk Nasya. Biasanya dengan mudah gadis itu tersenyum, tapi sekarang senyuman itu hilang tiada lagi.
" Saya periksa dulu ya mbak" Ucap Dokter yang menangani Nasya. Belum sempat dokter memeriksa Nasya, tiba-tiba gadis itu tertawa, tawa yang memilukan bagi siapa yang mendengar nya.
" HA.. HAHAHA, Jangan coba-coba mendekat.. Atau aku akan membunuh kalian semua" tawa Nasya semakin keras.
" Dok"panggil suster, terlihat jelas dari mimik wajahnya suster terlihat ketakutan.
" Dia gila dok" Lajut suster.
Mendegar keributan dan tawa Nasya, Brian segera masuk kedalam ruangan rawat Nasya. Di sana Nasya terlihat sangat kacau."Nasya, ini aku Brian" Brian mencoba menenangkan Nasya yang masih memberontak.
" Siapa? aku tidak mengenal mu, jadi pergilah.. Ha. Hahahahah" ada sedikit rasa sakit yang dirasakan Brian, saat Nasya mengatakan itu, walaupun Brian tau, Nasya saat ini mengalami gangguan kejiwaan.
" Sebaiknya Mbak Nasya kita bawa ke rumah sakit jiwa, biar dia tidak melukai dirinya sendiri "Saran dokter yang menangani Nasya.
" Tapi dok... " Brian tidak dapat berucap lagi, saat melihat keadaan Nasya benar-benar menghawatirkan.
" Baiklah, mungkin ini keputusan yang terbaik" Lanjut Brian, walaupun dirinya tidak tega, mengirim Nasya ke rumah sakit jiwa. Tapi inilah keputusan terbaik yang di ambil Brian, dirinya takut jika Nasya melukai dirinya sendiri.
***
Brian memasuki rumahnya, sunggu dirnya sangat lelah hari ini, mengurus semua keperluan dan pemindahan Nasya ke rumah sakit jiwa. Namun, Brian tidak akan mengeluh untuk berusaha membuat Nasya segera sembuh dan kembali seperti semula, walaupun utu membutuhkan waktu yang cukup lama bagi Brian.
" Dari mana saja kamu Brian? "tanya seorang wanita paruh baya.
" Rumaha sakit " jawab Brian
" Habis ngurusin gadis gila itu? "lanjut Mama Brian, ya wanita paruh baya itu Anita, mama Brian.
" Ma" tegur Brian dengan suara pelan, takut menyakiti wanita yang dicintainya itu, dengan perkataan nya sendiri.
" Apa? itu memang kenyataan, bukannya sekarang dia gila"
" Dia tidak gila ma, dia cuma butuh ruang untuk menenangkan diri"Brian membela, tidak ingin ada yang mengatakan bahwa Nasya gila, Brian merasa sakit jika ada yang mengatakan itu, karena jujur saja Brian sangat mencintai Nasya, walaupun gadis itu tidak mengetahui sama sekali perasaannya.
" Gadis gila kamu bela-belain "
" Sudahlah, aku tidak ingin bertengkar dengan mama, aku takut menjadi anak yang durhaka pada orang tua" Brian bangkit dari duduk nya, berniat meninggalkan ruang tamu menuju kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Untuk Nasya(Revisi)
Teen FictionKehilangan seseorang yang paling kita cintai memang menyakitkan. Namun kehilangan juga bisa mengajarkan kita, arti sebuah keikhlasan. Inilah kisah Nasya, gadis yang harus ikhlas dengan semua garis hidup yang sudah ditakdirkan Tuhan untuknya.