Mengundurkan Diri, Menyiksa Hati

74 22 7
                                    


Ini adalah kisahku, tentang kehidupanku sejak aku kembali ke kampung tempatku mendapat luka dan memar yang tak pernah sembuh, ke kampung tempat semua kenangan buruk yang ingin kubuang namun kudatangi kembali, demi ibuku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ini adalah kisahku, tentang kehidupanku sejak aku kembali ke kampung tempatku mendapat luka dan memar yang tak pernah sembuh, ke kampung tempat semua kenangan buruk yang ingin kubuang namun kudatangi kembali, demi ibuku.

Aku tak tahu harus memulainya dari mana. Aku selalu berusaha ikhlas, dan sabar, tapi rasanya begitu sesak. Aku ingin mencatat semua yang terjadi pada diriku sejak aku kembali lagi ke negeri yang kejam ini.

***

Pertengahan 2019

Aku bekerja di penerbitan buku yang dulu aku pernah mengikuti event menulis antologi beberapa kali di sana. Aku sangat mencintai dunia menulis, sampai pada penghujung kuliahku, aku ditawari pekerjaan sebagai admin event di perusahaan penerbitan itu. Pemilik penerbitan itu menghubungiku dan menawarkan pekerjaan kepadaku, dan aku dengan senang hati menerimanya.

Aku tidak menyangka, aku mendapatkan pekerjaan, meski tidak sesuai dengan ijazahku. Aku senang, bahagia, dan sempat tidak percaya, dan aku merasa bersyukur.

Hari demi hari ku jalani di tempat kerja pertamaku. Masuk kantor yang sederhana, karena tempat kerjaku belum lah seperti perusahaan penerbitan besar di ibu kota Jakarta.

Aku mengabdikan diri, bekerja, belajar hal-hal baru, yang mulanya aku ditugaskan sebagai penanggung jawab event kepenulisan, sekarang merangkap sebagai admin media sosial perusahaan, admin penjualan toko buku perusahaan, pembuatan laporan, editing, sampai ke tukang packing buku. Aku menjalaninya dengan lapang dada, karena di pikiranku mengatakan, bahwa beginilah pekerjaanku.

Sampai pada suatu hari, kakakku yang baru pulang merantau dari Taiwan, menghubungiku dan ingin bertemu denganku, saat itu masih jam kerja, dan aku dengan bahagianya memberitahu alamat tempat kerjaku. Kami pun bertemu, dan kakakku menghabiskan waktunya seharian menemaniku di tempat kerja.

Saat kami pulang, kakakku berkata kepadaku, bahwa tempat kerjaku tidak sesuai ekspektasinya, sangat memprihatinkan. Kakakku mengkhawatirkan masa depanku, karena bekerja tidak sesuai ijazah dan di perusahaan kecil dan tidak layak dikatakan sebagai kantor. Kakakku juga mengungkapkan kekesalannya dengan bosku, karena bosku berkata sedikit meremehkan pekerjaan kakakku, seakan-akan kakakku seorang TKI. Namun, meskipun bukan TKI, tapi apa yang salah dengan TKI, semua pekerjaan yang halal bukanlah sesuatu hal yang memalukan, bukan?

Sejujurnya aku juga sudah mulai mencari-cari pekerjaan yang lain di sela-sela istirahatku. Teman rekan kantorku menasihatiku bahwa aku lebih cocok bekerja sesuai dengan ijazahku, selain gajinya sepadan, ilmuku juga terpakai. Aku menerima saran itu.

Hingga satu kejadian membuatku mantap untuk tidak lagi loyal dengan pekerjaanku, saat aku mengalami kecelakaan di jam kereja. Aku pergi membeli makanan untukku dan juga titipan bosku, saat hendak kembali ke kantor, angkot di depanku berhenti mendadak, aku pun sempat menghentikan motorku, namun angkot itu tiba-tiba mundur tanpa aba-aba, aku pun jatuh. Aku dan motorku pun terseret oleh angkot itu. Seketika otakku berpikir mungkin ini adalah akhir riwayat hidupku di usia yang masih sangat muda. Aku berusaha teriak, namun sopirnya tidak mendengar teriakanku. Hingga semua warga pun meneriaki sopir itu.

Kecelakaan itu membuat kakiku terluka, tangan lecet, dan pinggulku nyeri. Motorku rusak. Dan kamu tahu apa? Bosku tidak merasa itu tanggungan perusahaan. Dia hanya membantu perantara berunding antara aku dengan sopir angkot, tanpa ada rasa kekeluargaan ataupun tanggung jawab sebagai pimpinan perusahaan dalam membantu dan terlibat untuk menyelesaian persoalan.

Aku yang kecewa dengan cara bosku, pun memutuskan menelpon kakakku. Masalah berlanjut, dan bosku tidak peduli. Dia pun pergi meninggalkan kami, dan tidak mau tahu lagi. Aku merasa tidak dibantu, padahal aku kecelakaan di jam kerja dan membeli makan siang titipannya juga.

Aku pulang, dan masalah pun diurus dan diselesaikan oleh kakakku. Saat aku istirahat untuk pemulihan, aku berpikir keras, dengan semua yang menimpaku. Lalu, mamaku menelponku, dan menanyakan kondisi pasca kecelakaanku. Mama pun meminta aku untuk berhenti di tempat kerjaku itu, dan membujukku untuk tinggal bersama mama dan bekerja sebagai di salah satu fasilitas kesehatan di dekat rumah sebagai suka rela.

Awalnya aku merasa berat hati, namun, nasihat, gambaran dan arahan keluargaku, membuatku kembali berpikir dengan masa depanku.

Telepon masuk dari beberapa rekan kerja dan kenalan di kantorku. Mereka menanyakan kabarku, dan mengkhawatirkanku. Tapi tidak dengan bosku, satu pun pesan ataupun telepon tak pernah ada sejak aku izin istirahat dalam pemulihan pasca kecelakaan.

Banyak masukan dan nasihat dari mereka, mengatakan sebaiknya aku berhenti dan bekerja di tempat yang seharusnya. Mereka menyayangkan ilmu dan potensiku, yang jika terus bertahan di sana, akan mengambat karirku.

Sebenarnya beberapa minggu sebelum kecelakaan itu terjadi, aku juga sudah merasa tidak nyaman bekerja di perusahaan itu. Ada rekan kerja, seniorku, dia cepu dan mengadu yang bukan-bukan tentangku kepada bosku. Bosku yang sangat menyayanginya karena rekan kerja paling lama di perusahaannya, malah percaya padanya, dan langsung menghakimiku.

Jujur, sesak rasanya jika kita dituduh namun kita taka da kuasa dan kesempatan untuk menjelaskan atau membela diri. Tidak enak sama sekali. Sangat menekan perasaan. Aku pun berakhir dengan diam, menerima, dan meminta maaf dengan suatu hal yang tidak aku lakukan, dan sesuatu hal yang aku sendiri tidak mengerti ada apa. Aku hanya diam, tersenyum menerima segala nasihat dan teguran yang sama sekali tidak aku pahami. Kamu tahu? Aku terpaksa menerima seolah aku bersalah. Bisa-bisanya kau tersenyum kepada senior yang menfitnahku. Di pikiranku saat itu, "Sabar, ini semua belum apa-apa. Dijelaskan pun tak ada keesempatan, percuma. Yang ada aku malah dituduh pembangkang." Begitulah aku menahan hatiku yang menjerit tertahan karena tak mampu membela diri.

Saat aku melihat kea rah senior itu, betapa tatapannya seolah ingin menegaskan kepadaku bahwa dia adalah orang kesayangan dan berpengaruh di perusahaan, dan aku harus patuh kepadanya.

Di dalam hidupku, aku selalu berdiri tegak di atas kakiku sendiri. Aku memperlakukan siapapun sama rata, dengan kesopanan dan tata krama. Taka da dalam kamusku takut ataupun tunduk berlebihan atau sekadar cari muka dengan segala manisnya pujian atau pun sanjungan. Aku berjalan di relku, dan tidak pernah mengotak-otakkan cara bersikap dan berprilaku. Namun, di dunia kerjaku itu, tidak bisa demikian. Jika kau bersikap seperti akan menggoyahkan jalannya, dia akan menekanmu atau bahkan menyerangmu dengan cara yang tak bisa kau atasi. Dan itu yang kualami, dan yang bisa kuatasi hanyalah hatiku, meski pikiranku berkecamuk.

Aku semakin kecewa dengan bosku dengan apa yang terjadi hingga pasca kecelakaan itu. Hingga dengan hati yang belum sembuh, aku putuskan untuk mengundurkan diri dan kembali ke desa dimana ibuku mengabdi. Mengundurkan diri dan memilih menyentuh luka lamaku yang selama ini tertidur panjang di batinku.

***

Tak ada yang ingin ku sesali dalam hidupku, tak ada yang menyesali luka-lukaku. Semuanya bertahan pada pendirian tidak bersalah, meski sang korban telah berdarah-darah menahan sakit yang menghantui dirinya seumur hidup.

Masa laluku, yang sudah lama kusimpan jauh di dalam sana. Kini aku dipaksa untuk berjalan dengan suka rela, meraihnya kembali dan membukanya.

Aku tak tahu lagi harus bagaimana. Posisiku sudah diambang terpaksa, tanpa pilihan. Aku dihadapkan pada jalan yang selama ini kuhindari. Dan sekarang aku kembali menapaki jalan berduri itu, dengan pura-pura kuat seakan semuanya baik-baik saja.

Aku berusaha menguatkan hatiku, dan menepis semua rasa takutku, rasa gelisahku, semua trauma yang kembali menggerogoti pikiranku. Demi ibuku, demi masa depanku, aku putuskan untuk melawan semua traumaku, sendiri.

[END] 19-21 || OPEN POTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang