Diantara banyaknya gundukan tanah aku berjalan menghampiri salah satu gundukan yang terlihat basah disertai taburan kembang yang tampak masih segar, membaca setiap tulisan di atas batu nisan untuk mencari satu nama, kalau boleh jujur lututku sangat lemas dan berharap jika kabar tadi malam hanyalah mimpi buruk, namun nyatanya tidak. Wanita itu benar-benar telah pergi semalam. Bisa kah aku menangis agar wanita itu bertahan setidaknya untuk hari ini, di hari ulang tahunku.
Samia Arguella.
Setelah sampai di hadapan gundukan tanah itu, harum khas bunga mawar menyeruak di indra penciumanku, sesaat itu pula aku merasa tubuhku kehilangan jiwanya. Katakanlah aku seorang pria lemah, walau ini bukan pertama kalinya aku kehilangan seseorang yang kucintai, tetap saja rasanya sangatlah menyakitkan dan sesak.
“Kak Dayan dua hari lagi ulang tahun, mau hadiah apa dari aku?” Wanita itu bertanya saat aku sedang mengepang rambutnya yang mulai menipis akibat komoterapi yang dia jalani.
“Gue mau lo sembuh, Sam, bisa?” pintaku, bahkan kali ini suaraku terdengar seperti memohon.
Wanita itu menggeleng cepat. “Kalau itu beda lagi, jangan minta sama aku lah.”
Pergerakan tanganku terhenti mendengar itu. “Lalu sama siapa?”
Wanita itu tersenyum lebar, memandangi wajahku sangat intens. “Tuhan.”Seketika percakapan dua hari lalu terngiang kembali di telingaku, setiap langkah kaki tertuju pada makan wanita itu aku terus memanjatkan doa dan harapan; semua ini hanya kekeliruan, makam itu milik orang lain, wanita itu tengah menjahilinya.
“Tuhan, bolehkah bertemu wanita ini sebentar saja, tidak perlu dalam wujud manusia karena aku tahu pasti mustahil,” lirihku. Katakanlah aku gila meminta hal seperti itu kepada Tuhan, namun aku harus bagaimana? Aku mencintainya.
Aku menangis di hadapan gundukan tanah itu, beberapa memori terputar ulang di kepalaku. Apapun yang terjadi, aku sudah berjanji untuk tidak menyesali semua yang telah terjadi, menangis boleh tetapi menyesal jangan itulah katanya.
“Sam, jangan ninggalin gue seperti kedua orang tua gue dan Gavia, ya? Lo harus kuat, gue yakin lo bisa sembuh. Lo harus bertahan,” tuturku.
Wanita itu meraih tanganku lembut menggunakan tangan hangatnya. “Kak Dayan harus berjanji satu hal sama aku,” ucapnya tiba-tiba.
Keningku mengernyit heran. “Kok lo mengalihkan pembicaraan sih?”
“Bukan mengalihkan pembicaraan. Pokoknya janji satu hal sama aku.” Wanita mengacungkan jari kelingkingnya. “Kalaupun aku pergi meninggalkan Kakak selamanya, janji untuk tidak menyalahkan diri seperti dulu. Menangis boleh tapi jangan meneyesal. Bisakan?”
“Sam …” tegurku lantaran perkataannya sudah mulai ngawur. Aku benci kalimat ‘pergi untuk selamanya’.
Dia menarik daguku agar pandanganku fokus menatap matanya. “Kak, kalau boleh mengibaratkan; aku adalah cermin dan Kakak adalah si pengguna cermin. Ketika Kakak bahagia, akupun bahagia, ketika Kakak sedih akupun sedih, tapi kalau aku hancur Kakak enggak boleh ikut hancur.”
“Kok gitu sih?” protesku.
Dia tersenyum getir. “Cermin yang sudah hancur tidak boleh menghancurkan pemiliknya, karena si pemilik cermin memiliki alasan untuk tetap melanjutkan hidupnya walaupun rasanya sangat berat memikul semuanya sendiri.”
Menurutku ucapan wanita itu sangat tidak masuk akal dan tidak nyambung, tetapi mampu mengubah moodku menjadi hancur berantakan.
Aku menarik tanganku dari genggamannya, dapat dilihat perubahan raut wanita itu menjadi sendu—sial aku benci melihatnya seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berkarya Bersama
Подростковая литератураKarya Bersama anggota Komunitas Kita Cinta Kata.