Namaku Raisa Franzolin, atau lebih sering dipanggil Rai atau Raisa. Saat ini aku sedang berada disebuah tempat asing yang pastinya tak pernah aku lihat ataupun aku datangi. Tempat ini penuh dengan pohon tinggi dan besar, tanaman dan bunga yang indah, juga hewan yang bentuknya tak seperti hewan yang berada di bumi.
Ditengah kebingungan ini, aku berjalan menyusuri jalan setapak yang kecil dan tertutup rumput-rumput hijau. Tapi tak lama aku berjalan, aku menemukan sebuah rumah yang besar di tengah hutan ini. "Rumah siapa ini? Mengapa ada di tengah-tengah hutan seperti ini?" tanya batinku.
Tanpa berpikir panjang dan dengan perut yang terasa lapar aku masuk kedalam rumah itu. Aku mengetuk pintu, menekan bel, ataupun berteriak pun tak ada yang membukakan pintu itu. Karena merasa tak ada yang menghiraukanku, aku pun mencoba membukanya dan pintu itu tak terkunci. Aku masuk secara perlahan, menelusuri ruangan demi ruangan dengan dekorasi yang memukau indah dan megah.
Disetiap sisi lorong selalu terdapat lukisan berbalut figura yang berukiran rumit. Setiap melihat lukisan-lukisan itu, aku merasa seperti mengenal merema dekat. Tak ingin memikirkan itu aku berjalan ke ujung lorong besar yang menyambungkan lorong-lorong kecil lainnya.
Dan tepat diujung lorong besar itu aku melihat lorong gelap diantara lorong lainnya yang terang. Dengan rasa penasaran aku berjalan menelusuri lorong itu tanpa rasa takut. "Mengapa aku seperti mengenal tempat ini?" batinku bertanya-tanya.
Tiba di ujung lorong, aku menemukan sebuah pintu besar yang menjulang tinggi. Tanpa basa-basi aku mendorong pintu itu hingga terbuka lebar. Ternyata itu adalah sebuah kamar yang sepertinya yang ping besar diantara yang lainnya.
Tapi betapa terkejutnya aku saat melihat seorang lelaki tampan yang sudah lama ku rindukan, di ujung ruangan terhalang oleh gorden kasur. Ia sedang berdansa dengan alunan musik lembut bersama dengan seorang perempuan yang selalu aku percaya. "Tapi, mengapa mereka ada di tempat asing ini. Di tempat yang bahkan aku tak pernah tahu ini dimana dan bagaimana caraku ada disini." pikirku.
Aku memanggil lelaki dan perempuan itu, "Prince! Melodi! Apa yang kalian lakukan di sini?" teriaku yang menyadarkan mereka dari keromantisan mereka.
Melihat dari ekspresi mereka, sepertinya meraka sama terkejutnya denganku, atau bahkan lebih terkejut dari ku. Aku pun mendekati mereka dengan pandangan tidak percaya, berani-beraninya mereka bermain di belakangku.
"Siapa kalian sebenarnya?" tanyaku yang bingung dengan keadaan ini, dengan tangis yang sudah tak bisa ku bendung lagi aku menatap mereka penuh rasa kecewa.
Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya mereka menceritakan semuanya, termasuk kebusukan yang mereka perbuat dan siapa mereka sebenarnya.
Mendengar penjelasan mereka, aku mulai mengerti. Ternyata mereka adalah sepasang kekasih yang telah bertunangan di dunia yang tak pernah ku kenal ini. Mereka berada di bumi dan berpura-pura menjadi kekasihku dan sahabatku hanya untuk sebuah tahta.
Baiklah, mereka bilang aku adalah seorang Putri Mahkota dari Raja Franz dan Ratu Zolin. Dan mereka menginginkan tahta itu dengan menyembunyikannya di bumi untuk mengelabui para tetua dan penghuni dunia ini, sungguh taktik yang bagus.
Jika memang seperti itu, maka akan ku berikan tahta itu. Aku pun tak pernah menginginkan tahta itu, lagi pula aku lebih nyaman berada di bumi.
Dengan tegas aku berkata, "Baiklah! Jadi ini adalah sebuah perpisahan antara aku, kekasihku yang mulai detik ini menjadi mantan kekasihku dan juga mantan sahabatku. Dan dengan segala rasa sakit dan rasa kecewa ini, aku akan memberikan tahta itu pada kalian. Lagi pula aku tak menginginkan semua tahta atau pun harta di dunia ini. Namun jangan salahkan aku, jika penghuni dunia ini akan menolak kalian secara terang-terangan. Aku pergi, selamat tinggal."
Setelah mengatakan itu, aku merasa tubuhku ditarik secara paksa, lalu dibanting dengan sangat keras sampai aku memejamkan mata. Namun setelah merasa berhenti aku tak merasakan rasa sakit.
Dengan keanehan ini aku pun mulai membuka mataku secara perlahan. Dan yang ku lihat adalah atap kamarku yang diatarnya tertempel stiker kupu-kupu, "Semoga itu hanya mimpi," ucapku yang kembali terpejam, mengingat ini adalah hari liburku.