Bab 2

4 0 0
                                    

Aku berlari sekencang mungkin. Sial, aku benar-benar terlambat. Aku mengejar bus yang hampir melaju meninggalkannya. Aku melambaikan tangan ke arah bus. Kenek bus memberi kode kepada supir untuk menunggu aku.

Bus sudah melaju sebelum kedua kakiku menapak di dalam bus. Aku berpegangan erat pada pintu bus agar tak terjatuh. Napasku tersengal.

Bus yang kutumpangi sudah hampir penuh. Tak ada tempat duduk yang tersisa. Aku berdiri berpegangan pada tiang.

Aku tiba di gedung kantor, sejumlah penumpang bus ikut turun bersamaku. Aku melirik jam tanganku. 7.52.
Pintu lift terbuka, aku berlari mengejar lift.

"Maaf" aku menabrak seseorang di depanku. Pintu lift tertutup, melaju pergi. Aku terlambat. Aku menatap orang yang kutabrak. Pria arogan, sombong yang tidak menahan pintu lift bagiku berdiri angkuh di depanku.

'Dia lagi???' kesalku dengan pria ini. Sudah dua kali aku tertinggal lift karena orang ini. 'Dosa apa aku dengan dia?' Gerutuku.

Pria itu tidak meresponi permintaan maafku. Ia pergi begitu saja menuju ke arah cafe kecil di gedung ini. Aku melihat kearahnya lalu mengalihkan mataku ke jam tanganku. Pukul 7.58. Aku menekan tombol lift. Berharap lift segera tiba.

Pria angkuh itu berdiri menghadap lift, ketika aku baru kembali dari toilet. 'Kenapa orang ini mondar mandir di sekitarku terus' aku menggerutu kembali. Pria itu memunggungi aku. Tampaknya ia sedang menerima telepon.

Aku berjalan ke arah kantor dan pria itu tiba-tiba mengikuti langkahku. Aku mempercepat langkahku. Aku membuka pintu kantor dan menutupnya. Annisa melihat ulahku dan berdiri. Ia keluar dari meja resepsionis.

Annisa membuka pintu yang kututup. Aku berbalik melihat ke arahnya. Ia membukakan pintu bagi pria angkuh itu.
"Selamat pagi, Pak Axel?" Sambut Annisa pada pria angkuh di belakangku.

Aku memutar tubuhku untuk melihat pria angkuh itu. Aku merasa pernah mendengar namanya. Pak Axel. Dimana aku mendengar namanya. Annisa menarik aku, agar pria itu bisa lewat.

"Siapa dia?" Tanya pria angkuh itu pada Annisa. Suaranya terdengar dalam.

"Ini Ibu Margaretha, Pak. Assisten baru Ibu Dian," jelas Annisa pada pria itu. Pria itu menatapku lalu masuk ke dalam ruangan.

Aku menarik Annisa.
"Nis, itu siapa? Kayaknya aku pernah dengar namanya." Aku bertanya kepada Annisa sambil mengintip ke dalam ruang kantor.

Annisa menggelengkan kepalanya mendengar pertanyaanku.
"Dia itu atasan Kita. Yang punya firma hukum ini. Yang menggaji kita" Annisa menjawab pertanyaanku.

Aku memandang ke Annisa.
"Memangnya kamu gak tahu?" Tanya polos Annisa. Aku menggelengkan kepalaku.

"Wajar kalo kamu gak tahu." Annisa mengangguk kepalanya. "Bapak pergi seminggu ini sih."

"Dia kemana?" Rasa kepoku muncul. Annisa mengangkat bahunya.

"Gak tahu. Biasanya yang tahu urusan Bapak itu cuma Ibu Dian." Annisa menjawabku sambil berjalan ke mejanya lagi.

Aku hanya mangut-mangut mendengar jawaban Annisa.
"Oh, gitu. Ya sudah, aku kerja lagi saja," aku berjalan ke dalam ruang kantor. Annisa hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

Aku melirik dari sudut mataku. Beberapa kali Ibu Dian di panggil ke ruangan pria angkuh itu. Ibu Dian keluar dari ruangan itu dengan setumpuk dokumen ditangannya. Ia berdiri di depan pintu dan memanggilku.

"Marga, kesini sebentar?" Aku beranjak dari tempat dudukku dan berjalan ke arahnya. Aku melirik ke dalam ruangan. Pria angkuh itu duduk di belakang meja kerja besar. Mungkin itu meja paling besar yang ada di seluruh ruangan kantor ini.

Daun Yang GugurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang