Tania mengintip dari balik pintu kamarku. Aku belum menutup pintu kamarku dengan rapat.
"Masuk saja" ucapku pada Tania. Tania masuk ke dalam kamarku. Ia duduk di pinggir ranjangku. Aku membelakangi Tania sambil merapikan pakaianku yang baru saja ku angkat dari jemuran. Tania hanya mengamati aku. Aku berbalik kepadanya.
"Kenapa?" Tanyaku pada Tania. Tidak biasanya ia diam seperti itu. Tania merebahkan dirinya di ranjangku. Aku memandangnya, menunggu dia bercerita.
"Tommi bilang dia mau pergi," Tania menghela napas. Tommi adalah kekasih Tania sejak mereka masih SMA.
"Dia mau kemana?" Tanyaku.
"Malaysia." Jawab Tania padaku.
"Untuk apa?" Lagiku bertanya ingin tahu.
Tania menarik napasnya. "Katanya ada pekerjaan di perkebunan kelapa sawit disana." Jelas Tania padaku.
Aku mulai mengerti kegelisahan Tania. Sebagai anak yang kehilangan dan dibesarkan di panti asuhan. Kami sering didera ketakutan untuk kehilangan sekali lagi.
"Aku sudah bilang, aku gak mau berjauhan. Tapi dia tuh gak ngerti. Dia bilang ingin kerjaan yang lebih menjanjikan. Tapi dia gak peduli sama perasaanku," Tania mulai menangis, meluapkan emosinya.
Aku merasa iba dengan Tania. Tapi aku tidak bisa melakukan apapun sebelum aku mendengar cerita Tommi. Menurutku, Tommi tidak mungkin berpikiran egois.
"Aku mengerti perasaan kamu, Tan. Tapi, apa sebaliknya kalian berbicara baik-baik terlebih dahulu." Aku mencoba untuk menenangkan Tania.
Tania menggelengkan kepalanya. Kadang ia bisa sangat keras kepala. "Cowok tuh emang egois. Gak mau mengerti perasaan cewek" gerutu Tania berkepanjangan.
Aku menepuk tangan Tania. Ia merebahkan dirinya dan terus menerus mengoceh, lalu tak lama menangis kesal. Aku menggelengkan kepala melihat dia seperti itu. Lelah dengan ocehan dan tangisnya, Tania terlelap di atas ranjangku.
Aku menyelimuti tubuhnya. Aku mengambil selimut tipis dari dalam lemari. Menggelar selimut tipis di lantai sebagai alas tidurku. Aku melipat tanganku, mengucapkan syukur untuk hari ini.
Alarmku berbunyi. Aku mengeliat dalam tidurku. Badanku terasa sakit, tidur beralaskan lantai. Tania membuka matanya, ketika mendengar alarm berbunyi. Dia masih tampak mengantuk.
"Aku ketiduran disini yah?" Tanya Tania kepadaku. Aku mengangguk. Ia melihat selimut tipis yang masih berserakan di lantai. "Sorry" Tania merasa tidak enak.
"Gak apa" Aku menggeleng. "Aku mau mandi dulu." Aku mengambil handuk yang tergantung. Tania mengikutiku.
"Aku juga mau siap-siap." Kata Tania. Kami keluar dari kamar, aku menuju ke kamar mandi. Tania masuk ke dalam kamarnya.
Sewaktu aku keluar dari kamar, Tania pun sudah siap untuk berangkat kerja. Kami berjalan bersama ke halte dan berpisah.
Ibu Dian memanggilku. Ia menyerahkan dokumen yang kemarin aku kerjakan.
"Sudah bagus semua," katanya. Aku mengambil dokumen dari tangannya.
Ibu Dian mengambil cuti kelahiran lebih awal.Telepon di atas mejaku berdering. No ext dari ruangan bosku, Axel. Aku mengangkat telepon.
"Selamat siang, Pak," jawabku. Aku menutup telepon dan berjalan ke arah ruangannya. Aku mengetuk pintu. Terdengar suara dari dalam ruangan. Aku membuka pintu dan masuk.
"Ini kasus yang harus kita urus. Kamu sama Deni urus perkara ini. Senin besok, Saya mau ini selesai." Axel menyerahkan berkas dokumen kepadaku. Aku mengambil dokumen darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Daun Yang Gugur
Roman d'amour"Ikut aku, bawa anakmu. Hidup bersamaku, maka anakmu akan aku selamatkan." Luci menggelengkan kepalanya. Ia tak akan mengkhianati pernikahannya. Margaretha atau yang biasa dipanggil Maggie, memulai pekerjaannya sebagai paralegal. Axel, atasannya me...