Bab 4

5 0 0
                                    


Malam sudah semakin larut. Kami menyudahi percakapan di antara kami. Aku berjalan ke halte bus. Tommi ingin mengantarkanku, tetapi aku menolaknya.

Ketika aku tiba di kost, kost sudah mulai tampak sepi. Penghuni kost sudah masuk ke dalam kamar mereka masing- masing. Aku mengetuk kamar Tania. Sepertinya kesibukanku membuat aku sedikit mengabaikannya.

Tidak ada jawaban dari kamar Tania. Sudah pukul 11.20, lirikku pada jam tangan yang melingkari tanganku. 'Mungkin dia sudah tidur,' pikirku. Aku berjalan menuju kamarku.

Saat aku membuka pintu kamarku, Tania keluar dari kamarnya. Wajahnya sembab. Aku menutup pintu kamarku, dan berjalan ke arahnya. Tania menangis , aku merangkul bahunya. Membawanya masuk ke dalam kamarnya. Kamarnya tampak berantakan seperti dirinya saat ini.

Aku menuang air dan menyerahkan gelas berisi air kepadanya. Tania meneguk minuman yang aku sodorkan padanya. Aku duduk di depan Tania. Menunggunya hingga ia menjadi tenang. Sesekali Tania mengusapkan matanya dengan tisu.

"Kamu baru pulang?" Tanya Tania dengan suara serak. Aku mengangguk. "Udah makan?" Tanyanya lagi.

"Sudah," jawabku padanya. "Kamu kenapa?" Tanyaku pada Tania.

Tania mengusap matanya lagi. "Mungkin kami akan putus," Tania menghela napas.

"Maksudnya?" Aku sedikit terkejut dengan ucapan Tania. Tommi tidak membahas bahwa hubungan mereka sudah separah ini ketika kami berbincang.

"Tommi tetap bersikeras untuk pergi. Jika dia begitu. Aku ingin putus darinya." Tania menangis kembali. Aku mengenggam tangannya.

"Kalian harus bicara." Aku mendesak Tania. Tania menggeleng.
"Kamu sudah berbicara langsung kepadanya?" Tanyaku kembali. Tania kembali menggeleng.

Aku menghela napas, sedikit merasa kesal dengan sikap keras kepala sahabatku ini.

"Bagaimana kalian akan bisa mengerti jika kamu menghindar terus menerus. Apa kamu ingin menyudahi hubungan kalian?" Aku menjadi geram dengan keduanya. Tania menggelengkan kepalanya lagi.

"Aku mengerti perasaanku. Tapi kalian harus berbicara. Beri kesempatan dirimu untuk mendengarkan Tommi. Beri dia kesempatan menjelaskan apa yang dia inginkan." Aku membujuk Tania.

Tania menatap aku. Tampaknya ia mulai memikirkan kata-kataku. Sebuah panggilan masuk ke ponsel Tania. Tommi menelepon. Tania menatapku memintaku untuk membantunya.

Aku melirik ke ponselnya dan memberi isyarat kepadanya untuk menerima panggilan dari Tommi. Tania mengangkat telepon. Aku berbalik, kembali ke kamarku. Meninggalkan dua insan menyelesaikan perkara di antara mereka. Aku ingin mengistirahatkan tubuhku.

Boa tirani. Begitulah aku menyebutnya. Ia memanggilku ke ruang kerjanya. Aku mengetuk pintu dan masuk ke dalam.
Aku mengamati bosku, Axel. Kuakui ia memiliki pesona tersendiri. Tidak dapat dikatakan sangat tampan.

Namun ketika ia sedang serius menekuni pekerjaannya. Ia tampak menarik. Aku mengamati wajahnya. Tatanan rambutnya yang rapi, tubuh atletisnya. Bibirnya yang terkatup rapat. Pandangan matanya yang tampak fokus pada pekerjaannya. Wangi tubuhnya... Pikiranku mulai melayang...

"Kamu ikut dengan saya sabtu ini." Axel berbicara tanpa memandang ke arahku. Ia masih memandang pada monitor di depan matanya.

Sabtu? Itu Hari libur. Aku harus menemaninya kemana? Aku menatapnya dengan jengkel. Aku tidak dapat menahan diriku untuk tak bertanya.

"Pak, Saya harus ikut Bapak kemana yah?" Tanyaku. Axel mengalihkan pandangannya dan menatapku.

"Acara asosiasi hukum," jawabnya. Aku mengangguk. 'Eh, bukankah yang biasa diajak itu Pak Deni' aku bingung.

Daun Yang GugurTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang