9. Sang Pemilik Cafe

89 30 5
                                    

Pagi-pagi sekali Reifal sudah berada di kelas. Di depannya sudah ada buku bersampul batik yang dia dapatkan setelah berdebat dengan teman barunya. Buku yang istimewa menurut Reifal. Karena apa? Karena buku ini bisa menyelamatkannya dari Bu Tini selaku guru Matematika sekaligus guru BK. Tangannya bergerak santai menyalin semua yang ada di buku batik itu. Inilah alasannya datang pagi.

Suara kursi yang digeser membuat Reifal menoleh ke kursi yang ada disampingnya.

"Tumben," ucap Devon tanpa melirik ke arahnya sedikit pun.

"Tumben apa?" tanya Reifal bingung. Dahinya mengerut.

Devon menoleh lalu berkata, "Berangkat pagi."

"Eits... jangan salah. Berangkat pagi itu dikhususkan untuk siswa yang belum mengerjakan PR. Qoutes dari gue tuh jangan lupa tulis," ucap Reifal dengan percaya dirinya. Tangan kanannya ditepukkan beberapa kali di dada kirinya bangga.

"Terserah." Ucapan yang lolos dari mulut Devon membuat Reifal mengacak rambutnya frustasi. Frustasi dengan sifat dingin yang dimiliki Devon.

"Ada PR?" Reifal beralih mengusap dadanya saat pertanyaan yang dilontarkan Vano mengagetkannya. Ada Rifki juga yang sepertinya baru saja tiba.
Mereka berdua berdiri berdampingan dengan wajah yang dipolos-poloskan.

"Ada. Tapi kalian gak boleh nyontek punya gue ataupun Devon." Reifal menjawab dengan sewot. Tangannya kembali bergerak menyalin jawaban dari buku batik itu.

Rifki berdecak. Tatapannya beralih pada buku yang sepertinya bukan punya Reifal. "Ck. Jawaban hasil nyontek aja bangga," cibirnya dengan tatapan sinis.

Vano ikut melirik buku bersampul batik tersebut dengan dahi mengernyit. "Dapet contekan dari mana lo? Tumben banget belum ngerjain," ucap Vano. Tangannya beralih mengambil buku itu lalu berkata, "Kaya kenal bukunya. Ini punya siapa?"

Dengan bahasa tubuhnya, Reifal menunjuk seorang gadis yang duduk di depan meja guru dengan dagunya. Lalu kembali fokus mencatat.

"SERIUS?"

"RAINA?"

Dua orang itu berteriak dengan lantang tepat di depan wajah Reifal. Siswa yang ada di kelas langsung memusatkan perhatian pada meja yang ada di pojok itu. Kecuali gadis yang masih sibuk membaca novel di tempatnya.

"Apa lihat-lihat? Mau gue laporin ke Bu Tini kalau kalian sering bawa make up?" ancam Rifki dengan mata tajam pada sekelompok siswi yang tampak berlebihan memakai perias.

Mata tajam Rifki beralih pada siswa yang sedang berkelompok di pojok kelas. "Kalian juga mau gue laporin karena sering nonton porno?"

"Jangan munafik, Ki. Lo juga sering ngikut," ucap Byan tanpa takut.

Rifki meringis menyadari hal tersebut. Sial.

"Ini harus ditulis di buku paket sejarah sih. Seorang Raina yang terkenal pelit mau ngasih contekan buat lo. Ada yang nyentuh bukunya aja udah dilaporin ke Bu Tini," ujar Vano tak percaya.

"Hati-hati lo, Rei. Kalau lo sampe dilaporin sama Raina karena nyontek, Bu Tini bisa hukum lo seberat mungkin. Tau aja gimana kejamnya dia," ujar Rifki berusaha menakut-nakuti.

Reifal berdecak lalu menyahut, "Gak akan dilaporin sama dia. Dia juga udah setuju tadi."

"Kayanya ada yang belum lo ceritain ke kita, Rei." Devon tiba-tiba berpendapat dengan mata menyelidik. Vano dan Rifki yang mendengar itu mengangguk setuju.

Reifal menghela napas. Memang dia tidak bisa berbohong pada ketiga sahabatnya sedari kecil. "Gue sama Raina udah damai," lirihnya. Tangannya berhenti menulis karena memang sudah selesai.

REI to RAI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang