Namanya Lie

18 3 3
                                    

Namanya Lie, tetapi bukan tukang berbohong. Ribuan kisah masa lalunya membuat ia harus berjuang di tengah kegelapan. Teman-temannya sering memanggil dia Theo atau Pilus. Mimpinya yang besar untuk membersihkan nama ayahnya dari daftar hitam di kota itu sepertinya salah.

Jika ditanya mengenai tiga permintaan yang bisa dikabulkan secara cuma-cuma, Theo memilih lingkungan yang damai dan masa depan yang cerah. Satu permintaan lagi sengaja belum ia pikirkan, menunggu waktu yang berjalan memberi arahan.

Theo tidak terlahir di keluarga yang buruk, bukan pula di keluarga yang punya banyak masalah. Namun, karir ayahnya di bidang politik sempat dikambinghitamkan oleh seseorang. Ayahnya menerima fitnah bertubi-tubi hingga pada ujung perjalanan karirnya, ia dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

Semenjak saat itu, perlahan hidupnya hancur. Theo menerima banyak ucapan buruk dan rundungan dari teman-temannya semasa SMP dan SMA.

“Mas Theo gausah ambil aja ya, Ma. Mas bisa cari kuliahan di Semarang kalau ga langsung kerja aja, ya. Biar Vanes aja yang kuliah, Theo kerja buat bantuin mas Alvin lulus kuliah sambil nemenin mama di sini.” Kalimat itu keluar diiringi seraknya suara Theo saat ia dinyatakan diterima di universitas terbaik se Indonesia yang berada di Yogyakarta lewat jalur undangan.

“Jangan, Mas. Mama di sini aman kok, kan Vanes belum lulus SMA, masih ada bude sama simbah juga, jadi mas Theo gausah khawatir.”

“Nanti kalau orang itu dateng lagi ke rumah gimana, Ma? Mas khawatir sama mama juga Vanes.”

“Gapapa, Mas. Gapai mimpimu itu, buktiin janjimu ke bapak itu bukan omong kosong. Mas harus punya keberanian buat mengangkat lagi nama keluarga kita,” tutur ibunya meyakinkan.

“Iya, Mas. Malu tuh sama Mas Joni. Mantan ketua jurnalis yang berprestasi sampai dipanggil Pak Gubernur kok nangis gini,” kata adiknya, Vanes diiringi dengan cengiran Joni.

Tangis pun mengiringi pembicaraan Theo dan ibunya kala itu. Dibantu dengan rayuan dari Joni, sahabatnya yang kebetulan diterima di universitas yang sama dengannya.

Di masa kegelisahannya, Kota Yogyakarta dengan sejuta pelajarnya seakan memanggil Theo untuk turut bergabung dan berjuang, membanting segala kemampuannya dan berusaha untuk memulihkan semua keadaan.

***

“Mas obatnya sudah dibawa?” tanya sang Ibu saat mengantar kepergian putranya untuk memulai nasibnya kembali di Kota Jogja.

“Sudah, Ma. Lengkap soalnya mas bawa sekotaknya.”

Kejadian hampir sepuluh tahun silam itu membuat ia harus siap sedia dengan obat penenang anjuran pamannya yang bekerja sebagai psikiater. Bisa dikatakan Theo punya suatu gangguan sehingga saat mendengar suatu teriakan yang amat keras, ia akan panik.

“Hati-hati, Mas. Kalau sudah sampai Jogja kamu telepon mama kalau ga Vanes.”

“Iya, ma. Mas berangkat dulu.”

Berputarnya roda motor Theo seakan membawa kembali harapan orang tuanya akan masa depannya, menghapus semua kekhawatiran, melepas segala kesalahan yang pernah terjadi.

Setelah sekian waktu ia mengendarai motornya, sampailah pada destinasi Yogyakarta yang paling ia rindukan, kos Jamet. Bangunan yang bersedia menampungnya semenjak maba hingga pengerjaan skripsi.

Jamet adalah keluarga bagi Theo. Jogjakarta Mate punya banyak kenangan dalam kehidupan Theo. Salah satu tempat yang mampu menjadi tameng dan topeng akan kehidupannya.

“Wah si bapak udah sampai aja, Bang Joni masih di jalan lho,” ucap Jefri sambil menyeduh kopi paginya.

“Gue berangkat sebelum subuh. Emang Joni kapan berangkatnya?”

“Dua jam yang lalu kayanya telepon Bang Tehan buat cek kondisi mi instan jatahnya.”

“Yee, kalau dua jam ya jelas belum sampai lah, Jef. Lo pikir Joni terbang?” Jefri hanya cekikikan mendengar jawaban Theo.

Theo segera masuk ke dalam kamarnya meninggalkan Jefri yang sedang menyeruput kopinya di depan televisi.

“Astaga Dirga belum bangun juga,” gumamnya saat melihat teman sekamarnya itu masih terlelap di balik selimut.

“Ga, bangun elah. Ga kuliah?”

“Enghh, kosong bang. Paling nanti siang mau lihat Jazz sama Ajun. Bang Theo mau ikut?” tawar Dirga.

“Engga ah, baru balik dari rumah mau istirahat, besok udah skripsian lagi.”

“Oiyaa udah mau skripsian. Bang nanti kalau lo lulus gue gaada temen sekamar dong?” tanya Dirga dengan kesadarannya yang sudah mulai penuh.

“Gue mau lanjut S2, tapi gatau gimana ntar. Lagian kalau kamar lo bisa bareng Sena atau bang Tehan. Yuda sama Joni kan seangkatan sama gue.”

“Lah iya kalau lulusnya bareng. Kalau engga?”

“Mulut lo, Ga. Pedes banget heran.”

Theo segera merapikan barang-barangnya lantas menelepon ibunya untuk memberi kabar. Tinggal selangkah lagi menuju kelulusannya, Theo harus bisa menjadi pribadi yang kuat kali ini.

“Ga, lo ga pindahin barang-barang gue kan?” tanya Theo saat mulai merapikan almarinya.

“Engga, Bang. Tapi kemarin si Lukas minta parfum yang di atas meja itu sedikit.”

“Yaudah gapapa lah. Eh, lo kok ga pulang, Ga?”

“Mama papa gue kemarin ke sini bareng Kak Divan sekalian mau belanja di Malioboro. Kan ga jauh-jauh banget, Bang,” jawab Dirga yang ditanggapi dengan anggukan Theo.

“Lagi ada masalah ya, Bang? Lo jarang banget pulang kalau ga libur panjang.”

“Kasus bapak muncul lagi, Ga. Sampai koran sama berita online. Gue takut mama diserang lagi kaya waktu itu jadi gue pulang,” jawab Theo serius sambil mendudukkan dirinya di kasur.

“Bang, tapi kan lo bisa...”

“Gue tau, Ga. Walau gue cuma bisa jagain rumah, ga berani lawan mereka, yang penting mama sama Vanes merasa aman kalau ada gue di sana sementara mas Alvin di Batam.”

“Lo ga coba nyelesain fitnah itu, Bang?”

“Tunggu aja gue lulus, habis itu gue bakal ungkap yang sebenarnya. Gue terlalu sakit buat lihat keluarga gue, terutama mama buat nahan semuanya.”

“Gue percaya lo. Keluarga Lie itu baik, semoga bapak bisa dapat keadilan,” ucap Dirga sambil menepuk pundak teman sekamarnya itu.

Namanya Lie, tetapi ia harap ia tidak akan berbohong dan mengingkari janjinya kepada bapaknya sepuluh tahun silam. ia harus menjadi baja yang lebih tangguh dari kakaknya. Biarlah kakaknya memikirkan ekonomi keluarganya kini dan ia yang akan menuntaskan semuanya.

Tbc

Juli, Satu-SatunyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang