I - Kedua (2)

7 3 0
                                    


Beberapa jam berlalu. Aku telah bangun tidur, mandi sore, merapikan jemuran kemarin, dan sekarang sedang mengolah bahan untuk ritual lagi. Cara kedua ini lebih mudah menurutku, karena hanya menyampurkan bahan satu sama lain dan direbus untuk dijadikan minuman hangat. Sejenis teh, mungkin.

Tapi sepertinya antar-cara selalu digabung dan dilakukan bersamaan. Teh yang kubuat di cara kedua boleh juga digabungkan dengan teh rosella. Aku memilih untuk tidak melakukannya karena rasa kayu manisnya sudah kuat, tak mungkin menyampurnya lagi dengan rasa rosella yang masam.

Sementara itu, masih ada sisa dupa sage, dua lilin, dan lavender dari cara pertama. Ritual kemarin cukup diulang lagi, 'kan?

Setelah menyelesaikan minuman (teh?) tadi, aku menyalakan lilin hitam-putih dan sisa dupa sage. Mengitari kamar dan memenuhi kamar dengan asap dupa, aku melihat lavender sisa berserakan di pojok kamar tempat aku meletakkan barang ritual. Aku mengambil lavender-lavender kering itu, lalu memasukkannya ke dalam rumpun dupa sage. Pikirku, sekalian saja agar lebih praktis dan simpel.


Sehabis memutar di kamarku, aku menghempaskan tubuhku ke atas tempat tidur. Kupandang buku Filterium yang kutaruh di atas laci kecil sebelah ranjang. Berhasil tidak ya..? Apakah yang kulakukan ini benar-benar berguna?

Sejenak, aku membiarkan rasa ragu ada di dalamku. Untuk mengalihkan perhatian, kuambil boneka panda empuk dari ayah; namanya Dzuu [a/n:bacanya juu]. Dia memberikan ini padaku sebagai oleh-oleh dari Yīhua. Aku memeluknya, menenangkan diri agar tak termakan oleh pikiran burukku sendiri.

Ngiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing-

... Nyamuk ini benar-benar mengganggu. Seenaknya saja mengganggu momen malasku, sepertinya aku harus menutup jendela.

Aku pergi ke jendela dan mencondongkan tubuhku keluar, meraih daun jendela yang menempel tembok. Sambil kututup, samar-samar kulihat bayangan seseorang bergerak di balkon jemuran yang kosong. Aku memicingkan mata, ugh, siapa itu?

Aku bertatapan mata dengannya, dia kaget lalu melambaikan tangan padaku. Aku mengernyitkan alis, ayolah, siapa orang ini? Kemudian ia merapat dan berjalan di atap, menuju kearah jendelaku. Setelah mendapat cahaya sebagian dari kamarku, baru aku bisa melihat wujudnya.

Seorang laki-laki berambut keriting putih mirip awan, matanya bulat berwarna abu-abu terang dan memakai mantel kulit harimau. Oh, dia membawa sesuatu bersarung kain di tangan kanannya. Terlalu pendek dan kecil untuk ukuran pedang. Pisau..? Sepertinya bukan. Mungkin seruling?

"Eh, hai?" dia menyapaku canggung. Dasar, padahal dia sendiri yang berjalan ke jendela.

"Hai? Apa yang kamu lakukan di balkon rumahku?"

"Um, kabur dari teman, eheheh.. Maafkan aku."

Aku menatapnya tak percaya dan makin mengerutkan alis.

"Begini, ah, aku Kairos-"

Belum sempat ia memperkenalkan diri dan menjelaskan lebih jauh, ada sesuatu melesat seperti angin dari arah Hutan Arazena dan berhenti tepat di jendelaku juga. Seorang perempuan berambut putih panjang dan berkulit pucat muncul dari dalam angin tadi dan menendang Kairos di pisangnya.

"AHGJKHKJ!!" Ouh. Sepertinya sakit.

Kairos langsung meringkuk di tempat, sementara perempuan tadi sama terkejutnya denganku.

"Ups.. uhm, Ros..? Maaf...... aku kelepasan," ucapnya pelan namun kemudian mengomel, "Lagipula untuk apa kau memasuki Ruang Ilusi? Sudah tahu akan merepotkan, tetap saja tak bisa diatur."

You're Your FilterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang