I - Pertama (1)

35 5 0
                                    


Hari berganti, aku mengumpulkan semangatku mencari bahan-bahan untuk ritual pertama. Segeralah aku mandi, sarapan, mengambil uang jatahku untuk seminggu ini dan menyiapkan diri. Namun terbersit di otakku tentang surat ayah kemarin yang semula akan kubaca di perpustakaan.

Oh tidak. Baju kemarin sudah kucuci. Dasar ceroboh, kutukku.

Dengan panik aku menaiki tangga ke tempatku menjemur cucian, meraba kedua saku di rok terusan itu. Aku merasa sangat lega ketika menemukan surat ayah masih ada, meskipun basah dan agak robek. Aku membukanya pelan-pelan, khawatir robek dan tulisannya tak terbaca lagi.

Untunglah tulisan ayah masih terlihat walau kertas surat itu kini dihiasi rembesan tinta. Diterangi cahaya pagi, aku membaca suratnya.


Libera, ayah rindu padamu. Hari ini ayah datang untuk kerajaan dan mampir ke rumah, sayangnya ayah tidak punya banyak waktu. Maafkan ayah.

Ayah hanya ingin mengatakan, tolong jangan patah semangat. Apapun yang kamu inginkan, asalkan kamu bisa bahagia, ayah akan selalu mendukungmu.

Maaf karena tak bisa bersamamu sepanjang waktu dan mendengar ceritamu sehari-hari. Apakah kamu masih kesepian? Sungguh, ayah minta maaf. Kuharap suatu saat kita bisa menghabiskan waktu bersama ibu dan juga Lianna.

Tadi ayah melihat keadaan ibumu. Tolong jagalah dia.

Ayah sayang kalian semua.


Aku menghela napas sedih, mengingat sosok ayah yang tertanam di pikiranku.

Aku juga sangat merindukanmu, ayah.

Terakhir kali aku melihat wajahnya adalah ketika aku berumur lima belas tahun. Sudah terasa sangat lama, apalagi kami benar-benar jarang bertemu.

Dan ibu.. ia berumur lima puluh dua tahun sekarang. Aku khawatir dengan kesehatannya karena tiga tahun lalu ia divonis tumor di dadanya. Sudah dilakukan operasi, tapi tetap saja aku khawatir. Napasnya sering tersengal ketika melakukan pekerjaan rumah dan kulihat di wajahnya ia sedang menahan sakit. Kuharap ibu akan baik-baik saja.

Sehabis sejenak merenungkan mereka berdua, aku kembali menyemangati diri sendiri. Sudah, tidak apa-apa, sekarang aku harus fokus pada filter dulu, pikirku. Aku menuruni tangga menuju pintu depan, tak lupa aku berpamitan pada ibu.


Hal yang kubutuhkan untuk ritual pertama lumayan banyak, yaitu rosemary, rosella kering, dupa sage putih, lilin putih, lilin hitam, garam laut, dan lavender.

Di Finnearg, bahan herbal memiliki beberapa tingkatan. Ada yang manfaatnya (baik dalam sihir atau kesehatan) sangat manjur atau tidak bermanfaat sama sekali, ada yang langka hingga justru sering ditemui di jalanan. Makin langka atau manjur, makin mahal pula harganya di pasaran. Jika tidak mau membayar mahal tentu harus mencari bahannya sendiri.

Uang saku diberikan oleh ibuku sebanyak 5 fin setiap minggu, jadi aku tak bisa membeli barang mahal, apalagi jika barangnya hanya sekali pakai. Uang yang sekarang kupegang pun; 6 fin 7 kun, kudapatkan dari menabung beberapa minggu lalu - jelas aku tak bisa meminta uang lagi karena sudah masuk masa liburan.

[a/n : 1 fin = Rp10.000, 1 kun = Rp1.000]

Mau tak mau aku harus mencari bahan-bahan secara manual. Aku meyakinkan diri sendiri bahwa aku bisa. 'Tak mungkin kehidupanku akan berubah jika aku sendiri tak mengambil langkah keluar dari zona nyaman,' benar 'kan?

...Itu kata-kata dari entah-siapa-aku-lupa yang kuhapalkan untuk ujian sejarah. Kapan aku bisa menjadi sebijak itu? Ah sudah, jangan mengeluh, sisi diriku yang baik mengingatkan.

You're Your FilterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang