Bab 1 | Bestie

41 8 0
                                    

Tiga tahun yang lalu, ada cowok manis beraroma stroberi lagi tidur di tumpukan sampah.

Bajunya bolong-bolong, poni rambut berantakan, pipi yang agak tembem membuat Ia gemas melihat cowok itu. Walaupun dekil dan kucel tapi mukanya ganteng banget. Kira-kira gelandangan kayak gitu harus di kasih duit apa dibawa pulang?

"Waktu itu Gue seret dia ke rumah kosong." Dilla terkekeh geli mengingatnya. Dia sedang duduk bersama Nadia saat tiba-tiba di tanya bagaimana skenario saat pertama bertemu 'Si Pangeran terlantar'. "Pipinya manis banget pengen Gue gigit. Dia kayak es cream stoberi, jadi Gue pungut aja karena gemesin. Kalo sekarang mah beda banget."

"Emang mukanya berubah?" Nadia menyimak sambil mencomot roti. Setelah upacara selesai, Ia memilih makan bekal di kelas, kebetulan pagi ini ia tidak sempat sarapan.

"Nggak. Dulunya aja yang gemesin, sekarang najisin."

"Terus gimana kalian bisa deket?"

Dilla menopang dagu, mengingat-ingat. Nadia balas menatap penasaran. "Malem itu sih Gue cuma mau maenin pipinya doang, tapi malah marah gara-gara gue pegang. Dia maki-maki ngomong ke Gue pake bahasa pedes banget. Gue sakit hati, gue nangis. Gue tinggalin dia. Tapi belum sempet pergi tiba-tiba di cegat. Dia gak mau gue tinggal sendirian. Akhirnya dia minta maaf dan janji mau temenan sama gue asal jangan ninggalin dia."

"Jadi cuman gara-gara itu?" Nadia menyimpulkan.

Dilla mengangguk.

"Sampe sekarang?"

Dilla mengangguk lagi.

Nadia menatap takjub. Lama mereka temenan tapi masih awet hanya karena hal sepele? Tapi bukankah membuat hubungan dengan seseorang tidak harus memakai alasan yang jelas, hubungan cukup di landasi kepercayaan. Setidaknya itu menurut Nadia.

Tiga cowok masuk kelas. Salah satunya menaruh botol mineral di meja mereka. "Nih! Gue beliin, gratis."

"Tumben baik." Dilla langsung menerima pemberian si cowok. "Biasanya Lo pelit, kesambet apa?"

"Emang salah kalo Gue berbuat baik?"

Dilla menggleng.

Namanya Vian. Cowok bau stroberi yang ternyata adalah tetangga baru di komplek dekat rumahnya. Dua hari nyasar karena lupa jalan pulang.

"Nggak salah sih, tumben aja." Dilla meneguk hampir setengah botol. Sekilas melirik Vian yang terus menatap Nadia dengan tatapan tanya. Saat mengerti ia menjelaskan. "Dia temen Gue. Kakel kelas XII IPS 1, ketemu pas rapat PMR."

"Hm." Vian tidak terlalu peduli. Di sebelahnya ada Adrian dan Rafa yang duduk di bangku lain. Ia mengibaskan tangan pada Nadia, memberi isyarat mengusir. "Lo. Minggir!"

"Hah?"

Sadar di kelas orang dan tidak ingin membuat keributan, cewek yang masih memakan bekal itu terpaksa pindah duduk. Sedikit tersinggung karena di sini ia yang lebih tua tapi tidak di hormati. Vian sedikit menggeser kursi dan duduk, gerakannya kasar.

"Yan," panggil Dilla. "Bad mood?"

"Kagak."

"Tapi tadi keliatan Lo bad mood, gak kaya biasanya. Gue bisa bedain kali. Lo kenapa?" Sorot matanya mulai serius.

"Ga usah sewot."

"Gue peduli, Yan."

Vian menegakkan tubuhnya kesal. "Berisik?!"

Dilla tertegun. Sekelas diam tidak ada yang berniat menengahi. Dilla akui dia berisik, tapi ia hanya bermaksud mengetahui keadaan cowok itu. Apa salah jika dia peduli? Tak apa orang di sana menghina, tapi ini Vian? Rasanya sakit.

An Abondened PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang