1

5.1K 439 214
                                    

Selamat Membaca...
.
.
.

Keadaan ruang Presdir Namiuzu Corp nampak berantakan. Kertas dokumen penting berserakan dimana-mana, barang-barang seperti pena, buku, serta laptop berhamburan di lantai dengan keadaan mengenaskan.

"Shikamaru... Bagaimana bisa kali ini aku kecolongan?" Ujar Presdir Namiuzu dengan geram.

Lawan bicara sang Presdir hanya diam, percuma menjawab jika keadaan sahabatnya ini masih dalam emosi yang memuncak.

"Tak ada jalan lain lagi, kau harus menikahinya sebagai tanggung jawab." Akhirnya Shikamaru buka suara, karena melihat air muka sahabatnya semakin keruh. Naruto memandang Shikamaru dengan tajam. Shikamaru sendiri hanya membalasnya dengan wajah malas mengantuknya.

"Aku.tidak.sudi.menikah." Naruto berkata dengan menekan setiap kata.

"Ya sudah, bersiaplah jika mereka benar-benar membocorkan foto-foto itu ke media." Shikamaru berkata dengan dingin, bangkit dari duduknya berniat untuk pergi. Percuma saja sahabatnya sangat keras kepala. Meminta solusi padanya tapi, saat dirinya memberi solusi malah dibantah dengan mentah. Shikamaru jadi emosi sendiri.

"Shika, semua wanita itu jalang. Tidak ada wanita baik." Ujar Naruto parau. Shikamaru menatap intens wajah Naruto yang berpaling.

"Istriku tidak." Jawab Shikamaru dengan mata memincing tidak suka dengan ucapan Naruto.

Shikamaru tidak menyalahkan Naruto jika mempunyai persepsi seperti itu terhadap perempuan. Ibundanya, Uzumaki Khusina yang tega berselingkuh dengan pria lain, membuat Minato ayah dari sahabatnya terkena serangan jantung mendadak dan menghembuskan nafas terakhirnya saat itu juga. Sejak saat itu, Naruto remaja membenci manusia berjenis kelamin wanita.
.
.
.
"Hinata...!" Teriakan seseorang membuat gadis bersurai indigo ini menoleh. Tersenyum cerah saat mengetahui sahabatnya yang meneriakan namanya tadi.

"Ada apa Kiba-kun?" Tanya Hinata. Kiba masih menetralkan nafasnya yang memburu, lengannya bertumpu pada lutut. Menegakkan badannya untuk menyampaikan hal penting bagi Hinata.

"Hinata, kau... Hamil?" Kiba bertanya dengan nada sendu. Hinata terperanjat mendengar perkataan sahabatnya. Nafasnya tercekat di kerongkongan. Darimana sahabatnya ini tau tentang kehamilannya?

Kiba yang melihat Hinata hanya diam, mengambil keputusan jika jawabannya adalah ya. Tadi secara tidak sengaja Kiba menemukan testpack saat tas selempang Hinata terjatuh. Dia bukan pria yang tidak bisa membaca arti garis dua yang tertera di testpack itu. Dirinya adalah pria beristri, dan istrinya kini sedang hamil, jadi Kiba tau jika Hinata hamil. Tapi yang menjadi pertanyaan Kiba adalah dengan siapa Hinata hamil? Setaunya Hinata gadis baik, lugu dan polos. Kiba yakin, sesuatu telah terjadi.

"Kau hamil?" Tanya Kiba lagi, kali ini dengan cukup hati-hati. " Aku, benarkan?" Desak Kiba. Hinata menunduk, bahunya bergetar, Kiba menghela nafas. Ternyata benar dugaannya, Hinata hamil.

"Sudah, jangan menangis lagi. Aku hanya memastikan saja." Kiba sebenarnya ingin menanyakan siapa Ayah dari bayi yang dikandung Hinata tapi, ia takut sahabatnya tersinggung.

"Pulang, dan istirahatlah yang cukup. Kau sekarang tidak sendiri Hinata, ada janin yang harus kau jaga." Nasehat Kiba. Tamaki istrinya, melewati trimester pertama dengan keadaan mengenaskan. Selama tiga bulan, Tamaki hanya tidur saja, makan selalu keluar lagi, belum lagi mual dan muntah di pagi hari yang sangat menyiksa. Terkadang Tamaki sampai menangis menghadapi semua itu. Setidaknya Tamaki punya dirinya yang membantu dalam keadaan seperti itu, sedang Hinata? Siapa yang akan membantunya? Dirinya tidak mungkin berada dua puluh empat jam bersama Hinata, kan? Kiba hanya bisa berdoa, semoga pria yang menghamili Hinata mau bertanggung jawab.

Forgive MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang