Gue Pikir Lo yang Benci Gue

188 102 140
                                    

Aku terus melihat ke arah pemuda yang tengah berbicara dengan Rei. Sepertinya Sean tertarik dengan Rei? Mungkin. Aku sendiri tidak begitu mengerti, tapi tatapan penuh arti Sean cukup mengisyaratkan semua perasaan itu.

"Aku suka kamu."

"Ha, 'kan! Bener, njir. Dia suka sama Rei," gumamku dari balik tirai pintu belakang.

"Makasih," jawab Rei, kemudian kulihat Rei menatap pemuda itu dengan tatapan biasa.

Aku masih menunggu reaksi Sean, berharap pemuda itu langsung pergi. Bukankah perkataan Rei cukup jelas? Bahwa kata terima kasih adalah bentuk penolakan secara halus. Aku pikir Sean lamban dalam mengambil kesimpulan.

"Jadi?"

"What! Dia masih nanya jadi? Gila kali tu orang," ucapku pelan, kemudian berusaha berjalan mundur untuk sedikit menjauh.

Bruk!

"Aw!" Aku meringis pelan, saat kepala terbentur dengan orang di belakangku.

"Ngapain?" tanya murid laki-laki itu dengan tatapan mengintimidasi. Ah, aku ingat dia! Pemeran raja yang membunuh Rei si pemuda mungil di drama.

"Gue mau jemput Rei. Rei anak drama," jawabku sedikit gugup.

"Oh, gitu."

"Rei! Cowok lu ni nyariin!" teriak pemuda itu dengan keras kepada Rei yang tengah berdiri di depan Sean. Sedangkan aku? Aku masih merasa penasaran setengah mati, dengan pembicaraan antara mereka berdua.

Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan mendekat ke arah Rei, dia menatapku dingin, tapi tidak sedingin pandangannya ke Sean. Sedikit berbeda, sulit menjelaskannya, hanya saja ... aku merasa senang untuk alasan semacam ini, apa ini aneh? Anggaplah begitu.

"Ge," panggil Rei dengan melambaikan tangannya pelan.

Aku menghampirinya, kemudian berdiri tepat di sebelah Rei, berhadapan dengan Sean, sang kapten basket.

"Gue ngobrol sama Sean dulu," ucap Rei kepadaku dan aku jawab dengan anggukan pelan.

Aku memperhatikan Sean sesekali, hanya sekedar melihat wajah dan tubuhnya, mungkin? Dia pemuda yang baik secara fisik maupun akademik, apa aku iri? Bisa jadi. Sean pemuda yang lebih tinggi dariku, lebih pintar dan lebih tampan. Haa ... kenapa rasanya aku jadi tidak percaya diri seperti ini? Sungguh membingungkan.

"Jadi apa?" tanya Rei, kemudian fokus kepada lawan bicaranya lagi.

"Jadi gimana perasaan kamu ke aku?" ucap Sean menatapku dan Rei, bergantian.

"Lo dengar sendiri, 'kan? Kalo tadi temen drama gue bilang ni cowok pacar gue, gak perlu gue jelasin lagi perasaan gue, 'kan?" jawab Rei yang berhasil membuat mataku melotot.

Sean langsung menatapku tajam. Jujur saja, tatapannya membuatku ciut saat ini, jika orang lain yang melihatnya pun, mungkin akan tau seberapa mengerikannya wajah Sean. Aku benar-benar merasa terintimidasi, terlebih lagi badan atletisnya sangat jauh dibandingkan tubuh kurusku ini. Apa hari ini aku harus mulai mengolah tubuhku? Ah! Ada-ada saja, pikirku. Namun, sepertinya harus, egoku memberontak.

"Ha ... halo, salam kenal," ucapku gugup dan berusaha tersenyum.

"Gue Sean, salam kenal," balasnya sambil mengulurkan tangan.

"Ge ... Gean," jawabku menerima uluran tangan besarnya.

Aku melihat Rei dengan wajah sedikit panik, tapi gadis itu seolah tidak peduli dengan rasa risauku saat ini. Memang Rei benar-benar tidak berperasaan, aku membatin pilu.

Di detik berikutnya, aku dan Sean melepaskan genggaman sapaan itu. Sean berpamitan kepada Rei, tapi tidak denganku, sepertinya dia tidak terima dengan pernyataan Rei sebelumnya.

U R My ...? [Terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang