"Jangan dulu pindah ya, Sis. Tinggal saja beberapa minggu di sini," kata ibu saat kami makan.
"Iya, Bu. Mas Hans bilang rumah yang mau kami tinggali juga belum selesai. Bukan begitu, Mas?" Suaminya hanya mengangguk sopan.
Dalam hati, berharap sekali mereka segera enyah. Bukan karena tak sudi tinggal bersama, tapi tak sudi karena selalu dihantui rintihan yang membuat hati perih setiap malam.
Nasib jomlo, apa harus sesedih ini?
"Ren? Rendi?"
"Iya, Bu."
"Kamu jangan nikah dulu, ya. Ibu nanti kesepian kalau kamu ngga ada. Tahu sendiri, kan, adikmu sekarang sudah resmi menikah. Cuma kamu yang belum," Apa sih, Ibu? Nyindir.
"Iya." Aku menjawab singkat.
Setelah selesai makan malam, aku langsung ke kamar. Sebisa mungkin memejamkan mata, berharap rintihan tak kembali menerpa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rintihan Pengantin Baru
Short StoryMOHON UNTUK DIPERHATIKAN USIA ANDA SEBELUM MEMBACA! Bermula pada suatu malam, ketika kakakku melewati malam pertama setelah menikah dengan Hans.