KASUS 1: Penghangusan Dosa (Bagian 1)

229 33 24
                                    

Aku tidak menyangka akan terlibat dalam teka-teki membingungkan ini.

Langit malam tanpa bintang ternoda semburat merah. Aku ingat saat itu seragam sekolah masih melekat pada tubuhku, tetapi aku tidak ingat apa yang terjadi sebelumnya. Satu-satunya yang tersisa dalam memori adalah beberapa detik yang lalu aku terjungkal dari jendela saat kendaraan itu mulai terbakar setelah menabrak sebatang pohon. Aku hanya duduk terdiam dan linglung, tidak mengerti apa yang kusaksikan saat ini.

Si jago merah masih mendominasi mobil travel itu. Aku tidak tahu kapan dan mengapa aku bisa naik ke sana. Ini membingungkan. Bahkan suara orang-orang yang melolong di dalam kendaraan itu membaur begitu saja dengan udara, tak membuatku cepat sadar. Hingga akhirnya kendaraan itu meledak di depan sana pun, yang kulakukan hanya duduk terbengong dari sini, masih tak bisa mencerna keadaan.

Aku, Agniya Aida Asha, saat ini terjebak dalam krisis yang tak terbayangkan seumur hidupku.

***

Dering telepon, seretan kertas, ketikan keyboard komputer, denting jam, langkah kaki, dan keriuhan kecil lainnya berbaur di sekitarku. Tempat ini agak kurang nyaman, tetapi apa boleh buat? Aku tak bisa pulang sekarang, karena inspektur muda di depanku haus akan informasi saat ini.

"Saya Inspektur Gilang. Jangan tegang, ya. Santai saja. Saya cuma mau menanyakan beberapa hal dari kejadian yang baru kamu alami."

Aku hanya membalas dengan anggukan singkat. Inspektur itu berdehem, lalu memulai interogasi. "Jadi," katanya, "bisa tolong kamu ceritakan apa yang kamu tahu? Sedetail-detailnya. Tidak masalah."

Jujur saja, harus kuakui saat ini aku gugup. Padahal, statusku hanya sebagai korban. Rasanya setiap kali mau membuka mulut, aku bisa memuntahkan seluruh isinya secara spontan. Sesuatu seperti terus menggedor lambung, memaksa keluar.

Aku tidak mengerti mengapa tiba-tiba begini. Apakah karena nuansanya? Mungkin kantor polisi sendiri tak ubahnya sebuah tekanan. Siapapun yang masuk akan merasa terhakimi, terintimidasi. Aku jadi pensaran, bagaimana perasaan para kriminal kala menempati posisiku saat ini. Apa yang mereka pikirkan, dan apa yang mereka inginkan.

Aku diam sejenak, mencerna apa yang telah kualami. Tidak, sama saja.

Buntu.

"...Sepertinya mulai aneh sejak saya pulang sekolah, Inspektur."

"Ya, teruskan,"

"Saya baru pindah ke kota ini beberapa hari yang lalu, dan hari ini merupakan hari pertama saya datang ke sekolah yang baru. Karena itu juga sepertinya suasana hati saya sedang sedikit kacau. Saya memikirkan banyak hal. Tapi seingat saya, waktu itu saya masih sepenuhnya sadar. Entah apa yang terjadi setelah itu. Saya hanya berjalan kaki seperti biasa, pulang ke rumah. Tetapi yang mengejutkan, entah mulai darimana saya tidak tahu apa yang terjadi...

"...Tiba-tiba saja saya terjungkal dari jendela travel yang sudah terbakar."

"Eh?"

Ah, bodohnya kau, Agniya. Mana mungkin cerita konyol semacam ini akan dipercaya? Aku mulai memikirkan kemungkinan, jangan-jangan beberapa saat lagi statusku akan diganti menjadi terduga, pelaku potensial. Hal semacam inilah yang sering terjadi ketika seseorang memberikan kesaksian yang aneh.

Tetapi sepertinya aku salah.

Ketika aku mencoba sedikit mendongak untuk melihat ekspresi si inspektur, aku terkejut.

Aku pikir dia akan memasang ekspresi tidak percaya. Tapi ternyata tidak. Lebih seperti... terkejut dan penasaran?

"Bisa kamu perjelas lagi bagian itu?" beliau lantas bertanya lagi dengan wajah serius. "A-ah..." aku mengangguk, agak gugup.

Satire Project's Book of CaseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang