next...

20 3 1
                                    

  Malah kadang cuma tersenyum. Atau kalau merasa ejekannya sudah keterlaluan, Rohimin cuma pergi meninggalkan orang yang mengejeknya.

  Kehidupan Rohimin juga tertutup. Tak banyak temannya yang tau siapa dia sebenarnya.

  Rohimin sebenarnya tidak jelek. Bahkan bisa dibilang cukup tampan. Hanya saja karena tampangnya yang bloon, membuat penampilannya kurang mengesankan, terutama bagi cewek secantik Rosa Amelia yang menjadi bunga di sekolah itu.

  Bagi Rosa Amelia,cowo yang menjadi idamannya bukanlah cowo bertampang bloon seperti Rohimin, melaikan cowo yang gentle. Bisa mandiri dan yang bisa memberi perlindungan bagi dirinya. Nah, kalau Rohimin, apa yang bisa diharap dari cowo seperti dia? Jangankan melindungi orang lain, membela diri sendiri saja tidak bisa.

   "Hai, banci! Lihat-lihat dong kalau jalan!" Sungut Rosa Amelia dengan kata-kata tajam penuh hinaan, memanggil Rohimin dengan sebutan banci sebagaimana yang selama ini sering dia lakukan pada cowo itu.
   " Maaf," jawab Rohimin dengan wajah memelas.
   " Maaf,maaf! Lo tidak tau apa kalau gue sedang kesal! Jangan sampai lo yang jadi sasaran,tau!" Dengus Rosa Amelia.
   "Iya,saya kan sudah minta maag, lagi pula kamu yang buru-buru," jawab Rohimin dengan wajah memelasnya.
   "Eh, mau ngelawan ya?" Sentak Rosa Amelia garang.
   "Tidak..."
   "Ya sudah minggir!" Hardik Rosa Amelia.

   Dengan tampangnya yang bloon dan menunjukkan wajah takut, Rohimin segera menurut menepi dari hadapan Rosa yang tanpa menghiraukan perasaan cowok itu, bergegas meneruskan langkahnya.

  Rohimin masih berdiri mematung di depan pintu dengan mata memandang penuh rasa kagum pada kecantikkan Rosa Amelia. Ya, siapa pun cowonya, bahkan Rohimin yang dianggap banci pun, pasti akan tertarik dan kagum pada kecantikkan primadona sekolah itu.

  Sesaat kemudian, cowo berkacama minus bertampang bloon itu menarik nafas panjang, sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam kelas.

***

  Sementara Rosa Amelia tampak melangkah ke ruang kelas 2-A, dimana Aditia yang mengelola majalah dinding berada. Dia berharap akan mengetahui dari Aditia siapa penulis puisi yang menjadikannya sebagai objek. Kebetulan, Aditia sudah datang, sehingga Rosa Amelia pun bisa langsung bertemu, tanpa harus menunggu.
  "Pagi Aditia" sapa Rosa Amelia.
  "Eh Ros. Pagi" balas Aditia. "Sengaja temuin gue?" Tanya Aditia kemudian.
  Rosa Amelia mengangguk.
  "Ada yang bisa gue bantu?"
  Rosa Amelia mengangguk lagi.
  "Katakan apa yang bisa gue bantu!" Pinta Aditia.
  "Gue ingin tau, siapa penulis puisi yang menjadikan gue sebagai objek tulisannya?" Tanya Rosa Amelia.
  "Lo tertarik rupanya?" Goda Aditia.
  "Tidak!" Jawab Rosa Amelia cemberut.
   "Jadi untuk apa lo nanyain penulis puisi itu?" Pancing Aditia.
   "Gue tidak terima, kalau tanpa seijin gue, nama gue dijadikan objek penulisan!" Tegas Rosa Amelia.
   "Gue rasa isinya bagus. Kata-katanya pun puitis. Dari pertimbangan itulah, mangkanya gue muat di Mading," tutur Aditia. "Dan menurut penilaian gue, gambaran syair isi puisi itu memang pas dengan apa yang ada. Lo memang cantik, pantas dipuja dan disanjung. Jadi, apa masalahnya?"
   "Pokoknya gue tidak terima nama dan diri gue dijadikan objek penulisan puisi kacangan!" Tegas Rosa Amelia.
   "Wah, gue rasa lo salah menilai, Ros. Gue yakin, jika yang memberi  penilaian terhadap puisi itu orang yang ahlinya, orang itu pasti akan mengatakan kalau puisi itu bagus dan dibuat dengan penuh penjiwaan."
   "Terserah apa penilaian lo terhadap puisi itu. Yang pasti, gue kemari mau tau siapa penulis puisi itu!" Potong Rosa Amelia.
   "Wah kalau soal itu gue ga bisa bantu."
   "Kenapa emangnya?" Sergah Rosa Amelia.
   "Karena gue juga tidak tau siapa yang nulis puisi itu."
   "Bagaimana mungkin?" Tukas Rosa Amelia
   "Lo tidak percaya?"
   "Ya jelas dong. Lo kan redaksinya, masa lo tidak tau siapa-siapa yang mengisi majalah mading yang lo kelola?!" Sungut Rosa Amelia.
   "Suer,Ros. Gue bener-bener tidak tau."
   "Bohong....!" Rungut Rosa Amelia dengan nada merajuk tak percaya.
   "Sungguh ya allah..."
   "Apa dia minta agar lo merahasiakannya?
   "Tidak."
   "Jadi kenapa lo tidak mau memberi tau sama gue siapa dia sebenarnya?"
   "Aduh Ros. Kalau gue tau, mana mungkin gue tidak kasih tau sama lo?" Keluh Aditia yang merasa jadi tak enak sendiri karena Rosa Amelia mulai merajuk.
   "Lalu bagaimana puisi itu bisa sampai ke tangan lo?" Desak Rosa Amelia ingin tau.
   "Puisi-puisi yang menjadikan diri lo sebagai objek penulisannya, tau-tau sudah ada di meja ini. Entah siapa yang menulis dan kapan mengirimnya ke meja ini, gue bener-bener tidak tau. Yang pasti, waktu gue datang, gue nemuin selembar kertas bertuliskan puisi di atas meja ini. Penasaran gue baca. Lalu setelahnya gue resapi dan hayati, ternyata puisi itu bagus. Ya akhirnya gue muat di majalah dinding," tutur Aditia menjelaskan.


#penasaran dengan kelanjutannya? Tungguin kisah selanjutnya ya dan mohon maaf apabila kata-kata saya banyak yang tidak dimengerti.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 24, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Puisi Cinta Buat RosaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang