"Aku bukan putri, maka memilikimu hanyalah angan-angan belaka, cintaku."
∞∞∞
"Hyaakk!"
Kikikan seekor kuda mengawali sesi latihan seorang pangeran muda. Di bawah terik matahari yang rasanya bisa memanggang tubuh manusia, seorang pria menunggangi kuda coklat kesayangannya sangat cepat ke tengah lapangan, membuat rambut panjangnya yang ia ikat bergerak ke sana-kemari.
Sring
Suara dentingan dua pedang yang beradu terdengar jelas, seorang prajurit berpangkat jenderal, berkuda dan menggunakan pedangnya dengan lihai untuk melawan sang pangeran. Melatih pria berambut biru tua itu untuk mengasah kemampuannya.
Tidak satupun dari mereka yang akan mengalah dalam waktu dekat, keduanya sama-sama berambisi untuk menang. Dengan tujuan masing-masing tentunya. Bahkan keringat yang membanjiri tubuh mereka, tak diuruskan. Hanya saja, kimono putih yang pangeran pakai sudah terbuka hingga pinggang.
Walaupun ini hanya latihan, pertarungan sengit terjadi di antara mereka seolah ini merupakan perang sungguhan.
"Kau kalah, Kevin," seringai lebar ditunjukan sang pangeran saat pedangnya berada di samping leher sang guru, posisi yang bisa memenggal kepala seseorang dengan sekali ayunan.
Masker yang sehari-hari jenderal itu pakai bergerak, membentuk sebuah senyuman. Pedang yang ia pegang dilemparnya begitu saja ke tanah dan kedua tangannya terangkat sebagai tanda menyerah. "Ya, aku kalah."
Melihat itu, pedang yang digunakan sang pangeran juga ikut turun, prajurit kelas rendah yang menyaksikan hal itu segera mengambil pedang tersebut tanpa perintah untuk ditaruh kembali ke tempatnya. Sesi latihan pagi menjelang siang ini telah selesai.
Mereka berdua turun dari kuda bersamaan. Tepukan singkat di punggungnya, membuat sang pangeran menengok ke belakang.
"Peningkatan yang signifikan, Pangeran Iqbaal," puji sang guru yang sudah melatihnya bela diri sejak masih kecil.
Iqbaal, pangeran itu tersenyum tipis, sudah lama ia tak menerima pujian seperti ini dari sang guru, "Terimakasih," ucapnya tulus, "ini juga berkat usaha kerasmu mengajarku, Kevin." Pria berambut cepak itu mengangguk.
Sebuah gelas perak terulur pada sang pangeran, seorang pelayan menyerahkan benda berisi air putih itu sambil menunduk. Ia mengambilnya dan meminumnya dengan cepat untuk menghilangkan dahaganya, setelah puas ia menaruh kembali gelas itu di nampan yang dipegang sang pelayan.
Baru saja Iqbaal ingin mengistirahatkan diri di kursi miliknya dalam tenda peristirahatan, seorang prajurit tergopoh-gopoh berlari ke arah sang guru yang telah duduk tak jauh darinya.
"Jenderal Kevin! Jenderal Kevin! Para warga melaporkan jika mereka kehilangan harta bendanya semalam! Ada seorang pencuri di wilayah kediaman pangeran kedua!" lapornya tergesa, tanpa menyadari ada Iqbaal yang memandangnya dari belakang.
Kevin memberikan isyarat mata pada sang prajurit bahwa di belakangnya ada seseorang, prajurit itu menengok ke arah pandang sang jenderal dan terkejut saat melihat ada seseorang yang sangat dihormati semua orang, ia punggungi dengan tidak sopan.
Dengan tubuh bergetar, ia bersujud di hadapan Iqbaal sambil mengatupkan kedua tangannya, "Maafkan hamba, Pangeran, hamba tak menyadari kehadiran Anda, maafkan hamba." Ia benar-benar takut, mengingat pangeran di depannya ini sangat mengikuti peraturan kerajaan dan terkenal amat kejam pada para pelanggar hukum raja tersebut.
Iqbaal mengangguk, ia sedang dalam mood yang baik. Maka dari itu, dirinya memaafkan sang prajurit dengan mudah.
"Hn, berdirilah. Apa kau mengatakan jika seseorang mencuri di wilayahku?" tanyanya memastikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Is It What Called Destiny ?
Romance[C O M P L E T E D - A S L] Aku bukan putri, yang duduk di singgasana dengan gaun lebar yang indah. Aku bukan putri, yang memanjakan jari-jariku dengan cat kuku warna-warni. Aku bukan putri, yang pantas bersanding denganmu di altar pernikahan. Aku h...