o4o

54 10 0
                                    

"Ketika air matamu mengalir, di situ pertahanan yang kubuat hancur berkeping-keping."

∞∞∞

Dengan dikawal oleh prajurit yang ia ketahui bernama Steven, juga prajurit lain yang entah siapa namanya, Vanesha berjalan dengan langkah berat. Kakinya dirantai agar ia tak bisa kabur, begitupula tangannya yang diborgol supaya tidak bisa melawan. Kalau kalian bertanya bagaimana rasanya, ia akan menjawab, sakit. Pergelangan kakinya terasa tergores-gores, tangannya juga agaknya akan memerah ketika borgol itu dilepas nanti. Ia benar-benar seperti tahanan.

Sebenarnya dua prajurit itu tahu kalau dia tak akan melarikan diri. Pangeran Iqbaal juga awalnya tidak mengijinkan mereka melakukan hal itu karena takut melukainya, tapi mereka bilang ini adalah perintah raja. Oleh sebab itu, pangeran saja tak bisa menentangnya. Ia hanya bisa menghela napas, pasrah.

Vanesha menoleh ke belakang, sorot sendu ia dapatkan ketika permata jamrudnya bertabrakan dengan onyx Iqbaal. Pria itu memacu kudanya dengan amat lambat, seolah mengikuti langkah kakinya, berjalan di belakang layaknya pengawalnya. Senyum tipis ia lemparkan demi menenangkan hati sang pangeran muda. Saat itu pula, Iqbaal mengangkat sudut bibirnya, memancarkan aura terang seolah ia yakin semua akan baik-baik saja.

Hanya melihat sang pangeran sudah tampak lebih baik, Vanesha merasa sedikit bebannya diangkat. Ia bisa melihat sorot keyakinan kalau Iqbaal bisa membantunya lolos dari hukuman. Pangeran itu tampaknya sudah membuatnya jatuh hati dalam pertemuan mereka yang kedua. Memikirkan hal mustahil kalau mereka akan bersama ke depannya, Vanesha menggeleng cepat. Jika tangannya tidak diborgol, ia sudah memukul kepalanya larena memikirkan hal bodoh.

Matanya kembali memandang ke depan, sebuah gerbang raksasa menjulang tinggi di hadapannya, inikah yang dinamakan istana yang sebenarnya? Astaga, luar biasa sekali. Istana di Kishboof saja tidak sebesar ini.

Gerbang itu dibuka lebar ke dua arah yang berbeda, menunjukan sebuah bangunan indah yang belum pernah Vanesha lihat sebelumnya. Tingginya saja sampai 5 tingkat kalau ia tak salah hitung, kediaman Pangeran Iqbaal di Kosyard saja hanya satu lantai. Vanesha tampaknya dibuat terpesona pada pandangan pertama.

Senyuman berbinar terbit di wajah Vanesha, Iqbaal yang melihat itu hanya mendengus kecil, gadis di hadapannya memang berbeda, atau memang ... sinting? Mana ada orang waras yang bisa tersenyum selebar itu kala nyawanya terancam.

Mengabaikannya, Iqbaal memacu kudanya lebih cepat untuk membalap Vanesha. Tepat di depan istana, dia turun dari kendaraan kesayangannya dan menitipkannya ke salah satu pengawal. Ia berjalan lebih dulu dari Vanesha agar tidak menambah kecurigaan para anggota keluarga.

Memasuki ruang rapat kerajaan, Iqbaal menegapkan punggungnya, tepat di depan sang ayah; penguasa kerajaan, ia segera duduk di lantai kayu ruangan lalu menunduk sedikit sebagai tanda penghormatan, "Salam, Yang Mulia." Matanya bergulir ke samping dan menemukan pangeran mahkota yang tersenyum padanya, "Salam, Nii-sama." Alvano; sang kakak yang akan memegang tahta setelah ayahnya meninggal, mengangguk demi membalas salam hormatnya.

"Pangeran Iqbaal, kau tahu kenapa kau dipanggil ke istana ini?" Raja Frans bertanya dengan suara yang kelewat dingin. Kali ini, ia benar-benar tak suka dengan kesalahan yang Iqbaal perbuat. Sebelumnya Iqbaal tak pernah berulah sampai dibawa ke ruang pertemuan para dewan seperti ini.

Iqbaal mengangguk, ia tahu persis kenapa ia dipanggil, "Ya, Yang Mulia. Aku dipanggil kemari karena melanggar perintahmu. Maka dari itu, aku pantas mendapatkan hukuman darimu."

"Kalau kau tahu kau akan mendapatkan hukuman, kenapa kau melanggarnya? Apa kau mulai memberontak, Pangeran Iqbaal?"

Iqbaal menggeleng cepat, tak pernah terpikir olehnya untuk melakukan hal itu, "Tidak, Yang Mulia. Aku tak pernah berencana untuk memberontak dari kekuasaanmu."

Is It What Called Destiny ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang