o3o

48 8 0
                                    

"Saat pertama kali tanganmu terulur padaku, harusnya kusadar jika itu pertanda buruk bagi kehidupanmu."

∞∞∞

"Apa kau sudah sering mencuri?"

"Huh? Tidak, kok," emerald Vanesha menatap lurus ke depan, menerawang kejadian terdahulunya yang kelam, "kerajaan Diafakhri merupakan tempat keduaku mencuri. Sebelumnya aku pernah ke kerajaan lain, tapi suatu keberuntungan aku lolos dari para prajurit. Mungkin sekarang keberuntunganku sudah habis. Maka dari itu, kau bisa menangkapku." Ia terkekeh kecil.

Iqbaal menghentikan langkahnya, Vanesha yang berjalan di belakangnya sambil menunduk tentu saja menabrak punggung tegapnya, gadis muda itu melenguh sambil memegang dahinya, "Kenapa kau berhenti mendadak? Tidak bisakah memberi peringatan terlebih dahulu?" tanyanya sewot.

Iqbaal berbalik, ia memiringkan kepalanya dan memperhatikan Vanesha intens, kemudian berdecak seolah tak percaya dengan fakta baru yang ia temukan, "Whoaa, aku baru sadar sejak tadi kau bicara dengan bahasa informal padaku. Luar biasa, kau yang pertama kali melakukan itu, selain anggota kerajaan tentu saja."

Dahi gadis itu mengerut, ia maju mendekati Iqbaal dan berjinjit untuk menyamakan tingginya dengan sang pangeran, sementara pria itu langsung mundur karena terkejut, "Memangnya tak boleh, ya?" bisiknya heran.

Pangeran muda itu mendengus, ia menyentil dahi Vanesha hingga gadis itu mundur seketika sambil meringis nyeri, "Dasar bodoh, kau tinggal di hutan, ya?" ejek Iqbaal.

Vanesha terbelalak, "Bagaimana kau tahu?"

Kali ini Iqbaal yang melebarkan matanya, "Kau sungguh tinggal di hutan?" astaga, padahal ia 'kan hanya bercanda.

Vanesha mengangguk cepat, "Dulu aku tinggal dengan ayah dan ibu di tengah hutan belantara yang ada di timur desa Kishboof. Karena banyak binatang buas, aku diajarkan bela diri dan bermain pedang untuk mempertahankan hidupku, makanya aku bisa sekuat ini. Ck, kau bahkan hampir kalah kemarin." Vanesha menyeringai.

Iqbaal tersenyum tipis, ia akui gadis di depannya ini sangat tangguh padahal tubuhnya saja kecil sekali, "Ya, kau memang hebat, tak banyak wanita yang bisa bermain pedang sehandal dirimu."

Senyum Vanesha mengembang, sebelumnya tak ada yang pernah memujinya seperti ini, yeah terkecuali orang tuanya, "Arigatou."

Iqbaal mengangguk, ia kembali berbalik lalu meneruskan langkahnya, diikuti Vanesha yang berjalan santai di belakangnya sambil sesekali memejamkan mata untuk menikmati semilir angin.

Mengingat sesuatu yang sejak tadi menggangu pikirannya, Vanesha berjalan lebih cepat, menyamakan langkahnya dengan sang pangeran. Ia memutuskan bertanya daripada terus penasaran seperti ini, "Ne, Pangeran, mengapa Anda—"

"Jika kita hanya berdua, tak apa kau berbicara informal padaku," sela Iqbaal karena jujur saja, ia lebih nyaman jika Vanesha bersikap santai seolah menganggapnya teman seperti tadi.

Vanesha memerah, ia merasa diistimewakan, tapi segera ia menggeleng, tak mungkin pangeran menganggapnya lebih dari seorang pencuri, bukan? "A-ah, aku mengerti. Aku ingin bertanya padamu, b-bolehkah?"

"Hn."

"Mengapa kemarin kau menolongku? Padahal kau bisa langsung memotong tanganku." Vanesha menunduk, ia memejamkan matanya, menunggu jawaban pangeran tampan itu.

"Karena kau … wanita?" Vanesha mengangkat kepalanya, ia menatap Iqbaal tidak puas karena jawaban Iqbaal yang seolah tak yakin, melihat itu Iqbaal menghela napas, "aku menghormati semua wanita sama seperti aku menghormati ibuku. Aku tak bisa menyakiti kaummu karena jika aku melakukannya, adanya aku yang akan merasa bersalah nantinya."

Is It What Called Destiny ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang