Hujan Kelabu

59 10 0
                                    

   Mawar menyeruput pelan cokelat panasnya sembari memandang lurus ke arah rintikkan hujan. Ia menatap tajam ke arah hujan dibalik jendela kamarnya itu. Bayangan beberapa bulan lalu, seketika menguasai pikirannya.
                  *            *            *
   "Kamu itu yang nggak becus ngurus anak!". Mawar yang kala itu baru pulang sekolah. Mendengar ayahnya berteriak keras.
"Kamu yang jarang pulang, yah. Kamu nggak pernah ngasih mawar perhatian yang cukup!". Bundanya balas berteriak. Mawar terpaku di sudut ruangan.
"Kalau bukan karena uang aku, apa kita bisa hidup seperti ini, hah?!". Kini sang ayah membanting vas bunga favorit bunda. Mawar mulai terisak.
"Aku juga kerja, yah. Aku kerja buat kalian juga. Aku juga harus ngurus mawar dan pekerjaan sekaligus".
Ayah mawar mendengus kesal.
"Ngurus apa kamu, hah? Selama ini mbok inah yang ngurus mawar. Kamu bahkan nggak maksimal ngasih dia perhatian". Bunda mawar terdiam. Mulai terisak.
"Lama-lama aku merasa kita memang sudah tidak cocok!". Ayah mawar berlalu pergi setelah mengatakan itu. Melirik sekilas ke arah mawar, menepuk singkat puncak kepala mawar, kemudian pergi keluar rumah. Mbok inah segera mengantar mawar ke kamarnya karena mawar mulai tersedu.
Waktu itu, mawar masih kelas 9.
Dari situlah awal mula pertengkaran hebat antara kedua orangtuanya.
Ayah mawar adalah seorang arsitek yang sering pergi ke luar kota. Dan tak jarang ke luar negeri.
Bundanya seorang designer handal yang selalu sibuk.
Mawar anak tunggal. Hanya ditemani mbok inah, asisten rumah tangga yang sudah ada sejak mawar masih SD. Setidaknya mawar senang. Masih ada mbok inah yang menemaninya.
Mawar mencoba tak menganggap pertengkaran itu serius. Namun, lama kelamaan pertengkaran itu semakin memuncak. Adu mulut yang panas. Kata-kata tak pantas yang keluar, membuat mawar sudah tak lagi kuat menahan semua rasa yang ia coba pendam.
Saat mawar masuk ke sekolah  menengah atas. Ia berubah. Menjadikan diri periangnya menjadi gadis dingin yang tak punya teman. Ia benci keluarganya. Benci orang-orang di sekitarnya. Apalagi setelah bundanya memecat mbok inah karena alasan tak mau membuat mbok inah ikut terlibat dalam masalah keluarganya.
Mawar kesepian. Tak ada lagi yang bisa ia jadikan tempat pulang. Kedua orangtuanya sibuk. Ia sendiri.
Kala itu, di tengah lebatnya hujan, ayah bundanya kembali bertengkar. Pertengkaran yang cukup hebat. Bunda mawar hingga berteriak menangis. Mawar menutup telinganya. Membuat suara itu membaur bersama derasnya hujan. Mawar tersedu sendiri di kamarnya.
Ia takut. Ia cemas. Ia sudah tak tahan lagi. Mawar bangkit kemudian membanting keras semua barang yang ada dikamarnya.
Mawar frustasi. Ia sangat hancur.
               *              *              *

   Mawar menggenggam kuat cangkirnya. Mengusir jauh-jauh bayangan kelabu itu. Ia menutup jendela kamarnya kasar. Menaruh cangkirnya asal kemudian meloncat keatas kasurnya. Memejamkan matanya, kemudian terisak hingga ia terlelap.
               *              *               *
   "Heh, min. Lo ngapain sih, mondar-mandir di koridor kayak kucing baru bangun tidur?!". Ruby berteriak sewot.
"Etdah! Emang lo tau kucing baru bangun tidur kaya gimana?". Unjun menimpali. Ruby menggeleng cepat.
"Duh, lo berdua tuh, berisik amat sih! Gue tuh, lagi nungguin mawar". Ucap minhee masih dengan berjalan mondar-mandir sembari memasukkan kedua tangannya ke saku celana.
"Min, lo tuh, beneran suka sama si mawar?". Tanya ruby di barengi anggukan penasaran unjun.
"Selama ini, gue cuma sibuk belajar, dan nggak tau gimana rasanya jatuh cinta. Tapi pas ketemu mawar, gue langsung paham bro, apa itu cinta pada pandangan pertama". Ucap minhee sembari tersenyum menerawang. Ruby dan unjun menatap minhee takjub.
"Mantap juga nih, bocah". Ruby memberi tepuk tangan singkat. Sedang unjun mengikuti tatapan minhee yang menerawang kearah langit sambil tersenyum.
Minhee mengerling senang ketika melihat mawar memasuki area kelas 11.  Minhee berlari riang mendekati mawar.
"Pagi, mawar".  Sapa minhee dibarengi cengiran lebar.
Mawar menatap lurus ke arah koridor. Tak berniat melirik minhee. Matanya sembab karena habis menangis semalam. Ternyata minhee menyadarinya.
"Mawar, kok matanya sembab?". Mawar tak menjawab, dan memilih berlalu menuju kelas. Minhee bergegas mengikuti mawar dan mensejajarkan langkahnya dengan mawar. Mawar berdecak kesal.
"Jangan ikutin aku". Ucap mawar tanpa nada. Minhee menelan ludahnya susah payah. Hatinya sedikit ngilu atas sikap mawar.
Ia berhenti mengikuti mawar dan memperhatikan mawar yang berjalan lesu ke arah bangkunya.
Minhee ikut masuk kelas dan memperhatikan mawar yang kelihatan kurang fit.
Minhee panik sendiri.
Bu Ayna, guru BK yang akan mengisi kelas sudah tiba. Minhee berpikir keras.
Minhee sontak berdiri dan mengagetkan seisi kelas.
"Bu! Saya izin bawa mawar ke UKS. Dia kelihatan nggak fit, bu". Mawar sempat terkejut namun mencoba tetap bersikap normal.
"Apaan, sih". Mawar membuang muka. Ia tidak suka jadi pusat perhatian. Dania menatap sendu kearah minhee yang sangat perhatian pada mawar. Namun, dania tetap tersenyum kecil.
"Ya sudah. Antar mawar sekarang ya, minhee". Ucap bu ayna. Minhee mengangguk cepat. Kemudian menarik mawar pelan, dan tanpa izin mawar, minhee memapah mawar perlahan. Mawar tak bisa mengelak karena ia juga sangat lemah.
"Istirahat aja disini, ya". Minhee mendudukkan mawar di ranjang UKS. Mawar terdiam. Kemudian membuang muka.
"Kalau sakit kenapa sekolah tadi?". Tanya minhee lembut. Mawar tetap diam sembari menatap kearah luar.
Minhee menghela napas pelan.
"Mawar". Mawar akhirnya menoleh, namun kali ini ia benar-benar terkejut. Wajahnya dan minhee kini hanya berjarak sedikit saja. Bahkan ia bisa merasakan hembusan napas minhee. Mereka bertatapan sejenak. Mawar merasa hangat.
Kemudian mendorong minhee dan membuang muka.
"Ehh, maaf". Minhee mencoba menyembunyikan senyumnya.
"Aku panggilin dokter UKS nya dulu, ya supaya meriksa kamu". Ucap minhee.
"Nggak usah". Cegah mawar.
Minhee mengangguk mengerti.
Tersenyum hangat kearah mawar yang bahkan tak melihatnya.
"Ya udah. Mawar istirahat, ya. Aku balik ke kelas dulu". Mawar tak merespon. Minhee kemudian berlalu pergi ke kelas.
Mawar melihat minhee yang mulai menjauh. Matanya menatap lekat pada langkah minhee yang sudah tak terlihat.

   "Mawar? Belum di jemput?". Minhee berlari menuju mawar yang sedang duduk sendiri di halte depan sekolah.
Mawar mengangguk pelan.
"Aku anterin, ya. Kamu lagi nggak enak badan. Nggak baik lama-lama kena angin sore". Minhee mengarang alasan. Mawar tak merespon.
"Mawar". Mawar tetap terdiam, namun kali ini menatap kearah jalanan yang mulai menggelap.
"Mawar, ayo". Kali ini mawar bangkit. Kemudian berdiri disamping minhee, membiarkan minhee mengantarnya pulang. Minhee tersenyum kecil.
Mereka berjalan tanpa bersuara.
Mawar diam menatap langkahnya. Sedang minhee diam memperhatikan mawar yang membuat jantungnya berdebar.
"Makasih". Ucap mawar ketika sampai dirumahnya, kemudian berlalu masuk. Minhee mengangguk pelan. Mengulum senyum termanisnya untuk mawar yang sudah menjauh. Kini ia jadi tau letak rumah mawar.
Minhee bergegas pulang sembari melonjak-lonjak senang.
Tersenyum kecil, tersenyum manis, kemudian berubah menjadi tawa kecil yang bahagia.
                 *          *           *
   Minhee tersenyum sembari menatap langit-langit kamarnya. Membayangkan tatapan mata mawar di UKS tadi, menyaksikan mawar bersedia diantar pulang olehnya.
Minhee tertawa senang. Semakin hari sepertinya ada perubahan.
"Mawar, mawar. Kenapa manis sekali. Tapi sayang senyummu tak juga terbit. Tidak apa-apa. Suatu saat nanti senyum itu akan datang padaku dengan sendirinya". Minhee tersenyum penuh arti. Kemudian meraih selarik kertas kecil dan menulis sesuatu disana.
"Minhee menunggu senyum mawar. Selalu".
Lalu, minhee menempel tulisan itu di dinding tepat di samping ia tidur.

-bersambung.

Pangeran Musim Panas Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang