Sebuah Takdir [END]

30 5 2
                                    

Pagi cerah ini aku menyiram bunga-bunga perkarangan rumah. Menyiram adalah rutinitas ku setiap hari. Aku dan Bunda menanam berbagai macam bunga, bunga-bunga itu ditanam tersusun rapi. Memandang bunga hati aku senang. Bunga mampu membuat aku melupakan masalah -masalah yang ada. Karena Bunda, aku mulai menyukai bunga. Bunda pertama kali membuat diriku menyukai
sesuatu yang sangat indah.

Aku sangat berterimakasih kepada Tuhan telah menciptakan makhluk hidup yang sangat indah. Aku akan terus merawat sampai mereka mekar.

Aku melangkah mendekati bunga kesukaan Bunda. Tiba-tiba suara
pecahan kaca terdengar keras dari
dalam rumah. Lalu aku melangkah tergesah-gesah. Alangkah terkejutnya menemukan Bunda terjatuh dengan luka pada pergelangan tangannya.

"BUNDA!!"teriakku dengan tangisan.

Aku pun melangkah keluar rumah
mencari bantu,kebetulan aku melihat Pak Tono sopir sedang mencuci mobil. Aku pun meminta bantuan Pak Tono membawa Bunda ke rumah sakit.

Setelah beberapa menit, akhrinya Bunda berada di ruang UGD. Sepanjang perjalanan aku tak berhenti menangis. Aku takut Bunda akan pergi seperti Mama.

Aku bukan darah kandung Bunda, aku hanya anak yang diangkat. Bunda menjaga aku seperti menjaga anak kandung. Bunda tidak memiliki siapa-siapa. Bunda hidup sebatang kara, suaminya meninggal sepuluh tahun lalu karena kecelakaan. Anak pertamanya meninggal karena memiliki kanker otak.

Aku kini berada dibalik pintu UGD. Dokter Indra keluar setelah menanganin Bunda. Akupun mengusap air mata pada wajahku lalu aku menanyakan kondisi Bunda.

"Dok Bundaku kenapa"tanyaku

"Maaf kami sudah berusaha tapi ini sudah garis takdir Tuhan. Bunda kamu telah pergi"

Aku tak kuasa mendengar perkataan tersebut. Hati aku hancur sakit yang aku rasakan.

Lalu dokter Indra meninggalkan aku sendirian. Aku melangkah memberanikan diri masuk ke ruangan tersebut. Badanku lemas tak kuat melihat Bunda. Kini aku sendiri semua orang telah kembali kepada Tuhan. Aku tak menginginkan suatu harta, teman yang aku perlukan hanya sebuahk keluarga. Namun Tuhan berkata lain.

"Bunda hiks...kenapa pergi, Lita sendiri jadinya hiks..Bunda nanti Lita tinggal sama sapa?" suaraku sambil mengusap air mata.

"Bunda pasti bakal ke temu sama Mama ya, Lita pingin juga" isakan tangisku tak berhenti.

Seseorang menepuk pundakku, aku menoleh menemukan PakTono bersamaB Bi Murni asisten rumah tangga sekaligus istri PakTono.

"Bunda hiks" aku memeluk BiMurni.

"Udah non ini sudah takdir Tuhan" ucap Bi Murni mengelus rambut kepalaku dengan lembut.

"Non Pak Tono sudah menyiapkan
persiapan pemakaman nyonya" Kata Bi Murni

"Baiklah"

Lalu aku mengusap air mataku. Lalu melangkah meninggalkan ruangan menyiapakan pemakaman Bunda.

Sepanjang jalan perasaanku hancur, tak membayangkan yang terjadi lagi. Mama meninggalkanku untuk selamanya kini Bunda juga meninggalkanku selamanya. Mama meninggal saat diriku menginjak usia sepuluh tahun. Saat itu aku tak memiliki siapapun. Ayahku meninggalkan Mama semenjak diriku lahir. Ayah pergi dengan kekasih barunya. Mama membesarkanku sendiri. Menjadi tulang punggung keluarga.

Mama meninggal setelah menyelamatkanku.

Flashback on

Sepuluh tahun lalu, aku bermain dengan Mama di taman dekat komplek rumah. Saat itu aku berlari kesana kemari tak sadar aku berlari ke arah jalan raya. Waktu itu sebuah mobil dengan kecepatan kencang mengarah kepadaku. Mama mencariku dan lihatku berada di tengah jalan, Mama melihat mobil menuju diriku lalu Mama melangkah dengan cepat kearahku. Badanku terdorong dan terjatuh ke tanah. Dan mobil tersebut menabrak tubuh Mama hingga terlempar 500 meter. Akupun melangkah kencang berlari ke Mama. Mama berlumpuran darah, kepala
mengeluarkan banyak sekali darah. Orang-orang yang melihatku lalu menolongku membawa Mama ke rumah sakit.

CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang