Buk! Buk!
Aku terkesiap kala pukulan sapu yang bertubi-tubi memukuli tubuhku. Mataku dengan perlahan terbuka dengan sedikit menyipit. Bisa kulihat seorang wanita paruh baya yang memegang gagang sapu bersiap hendak memukuliku lagi.
“Sakit!” erangku menahan gagang sapu tersebut.
Ia melempar ke sembarang arah sapu tersebut seraya berkacak pinggang. Wajahnya sangat menakutkan menyeringai ke arahku. Dengan susah payah aku membuka kedua mata dan mendudukkan diriku bersandar pada dinding kasur.
“Baguslah kalau kau sudah bangun. Ayo! Kerjaanmu sudah menunggu!” ucapnya hendak melangkahkan kaki keluar kamar.
Ya, dia adalah adik dari almarhum ayahku alias bibiku. Namanya Maria Rosella.
Hidup dengannya selama ini bagai neraka bagiku. Sama sekali tak pernah memberiku ruang untuk bernapas barang sekali saja agar bisa bahagia. Bibi Maria selalu saja memperalatku untuk selalu menuruti permintaannya. Padahal ia punya seorang anak perempuan yang sebaya denganku. Nama anak perempuannya adalah Laoly Rosella.
Kerjaan Laoly setiap harinya hanyalah berbaring, bermalas-malasan dan bermain ponsel. Tak pernah menyentuh sapu ataupun piring. Untuk makan saja ia harus disuapkan oleh tanganku. Bayangkan betapa malasnya perempuan itu.
Cahaya dari matahari memercik masuk ke dalam mataku. Membuat aku merasa silau. Segera aku berdiri untuk menutup jendela itu sedikit. Tetapi sebuah senyuman tercetak pada bibirku seolah memberi aku ide untuk segera pergi dari neraka ini.
Aku mengambil kursi untuk memanjat jendela tersebut. Sebelumnya, terlebih dahulu aku mengambil ponsel yang ada di atas kasurku.
Brak!
Aku terjatuh sehabis melompat dari jendela kamarku. Kulirik kiri dan kanan berharap tak ada bibi Maria. Beruntunglah nenek sihir itu tidak ada.
Namun saat hendak melangkahkan kaki, kedua mataku membulat dengan sempurna kala melihat Laoly yang sedang bergembira menenteng plastik berisikan beberapa jajanan. Nah, itu kali pertamanya aku melihat Laoly keluar rumah selain pergi ke sekolah.
Pilihanku hanya satu. Balik kembali masuk ke dalam neraka ini atau berlari ke arah kambing betina itu? Tak sempat berpikir jernih, akupun memilih untuk berlari sekuat tenaga melewati Laoly.
“Ibu! Sharon kabur!” pekiknya. Membuat nenek sihir itu berlari keluar rumah.
Aku berlari tanpa menghiraukan baju yang kukenakan ini adalah baju tidur. Bahkan aku sama sekali tidak memakai sandal. Ah, masa bodoh! Aku tetap melajukan langkah kakiku untuk berlari.
"Hei, mau lari ke mana kau sialan?!"
Aku berlari menjauhi bi Maria yang baru saja mengucap kalimat barusan. Aku benar-benar sudah lelah untuk terus tinggal bersamanya. Hari-hari ku selalu suram. Tak ada kesempatan untuk bernapas barang sekali embusan saja agar bisa bahagia.
Aku mempercepat lariku. Bayangan setan wanita tadi tak lagi terlihat. Ups, maksudku—bayangan Bibiku—Maria.
Bruk!
Tak sadar karena asik melihat ke belakang. Badanku terhuyung akibat tertabrak lemari yang berukuran lumayan besar. Aku menepuk kedua telapak tanganku membersihkan pasir dan juga bebatuan aspal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just's Camera(?)
FantasySharon Blizjackuel beruntung diberikan sebuah kamera. Bukan sembarang kamera. Kamera itu justru selalu menuntunnya memberi petunjuk dalam menghadapi berbagai macam masalah. Mulai dari masalah keluarga, asmara, serta nasibnya yang selalu saja sial...