Pharon berlari dengan menggenggam gaunnya yang menyinsing. Dapat kulihat semua tatapan manusia menatapku dengan benci. Aku tertunduk. Sebelumnya aku menatap Gwelda yang tersenyum menyeringai. Selepas ini, aku akan meminta penjelasannya. Apa maksud dari tuduhan yang ia lontarkan pada Pharon?
Aku berjalan menuju tangga. Hendak berdiam diri di dalam bilikku—Maksudku, mungkin sebentar lagi aku akan diusir dari istana ini—sampai Pharon mau berbicara denganku.
“Sharon, kau pikir kau bisa hidup bahagia? Pulanglah kembali ke rumah kecil bersama bibimu. Dasar kampungan!”
Rasanya aku susah bernapas kala suara yang baru saja menembus telingaku bak pedang tajam yang menusuk hatiku. Aku melirik seseorang yang ada di belakang melalui ekor mataku.
Gwelda!
Kenapa ia begitu benci denganku?
“Terima kasih, aku bahkan jauh lebih bahagia meskipun harus tinggal di rumah yang kecil bersama bibiku,” balasku. Kemudian melanjutkan kembali langkahku berlari menuju bilik.
Saat hendak sampai menuju bilikku, aku tersentak dengan pintu berwarna merah. Tadi, Pharon memasuki bilik berpintu merah ini. Hatiku tergerak ingin menjelaskan pada Pharon apa yang sebenarnya terjadi. Termasuk ... kamera yang Elgar berikan padaku sebelum ia menghilang.
Tok ... Tok!
Aku memberanikan diri mengetuk pintu berwarna merah tersebut. “Ehm ... Pharon?” sapaku. Aku mendekatkan tubuhku pada pintu itu. Berniat menguping. Barangkali, Pharon mengeluarkan sepatah kata saja membalas sapaanku.
Cklek!
Astaga! Ternyata pintu ini tidak dikunci. Aku terkejut bukan main tatkala pintu itu terbuka karena seolah-olah tubuhku yang mendorongnya.
Aku menatap sekilas ke arah Pharon sedang menangis terisak-isak. Ada seorang wanita tua renta yang berbaring sedang mengusap-usap pundaknya. Serta seorang laki-laki menyebalkan yang kutemui tadi sedang duduk memainkan komputer. Laki-laki itu nampaknya sedang mencari tahu tentang Elgar.
Aku menunduk. Berdiam diri di sudut dalam bilik tersebut. Mereka seperti tak menganggap kehadiranku di sini sama sekali. Namun, hal itu tak membuatku menyerah untuk meminta maaf dari Pharon.
“Pharon ....” Aku mendekat menuju ranjang yang mereka duduki. Jari-jariku saling mengusap jari yang lain. Aku benar-benar gugup mendekati mereka yang sedang berduka. “Aku minta maaf,” cicitku.
Pharon menatapku sekilas. Matanya merah sembab dan menyedihkan. Air matanya yang turun membasahi pipi berwarna hitam akibat eyeliner yang ia gunakan. Aku menjadi tak tega karena telah merusak kecantikan wanita tersebut.
“Kau membunuh Elgar?” tanya wanita tua yang sedang terbaring lemah tersebut.
Rasanya susah untuk bernapas. Aku baru saja mengenali mereka. Tetapi, semudah itu bagi mereka untuk langsung mempercayai hal yang sebenarnya sama sekali tak kulakukan.
Aku duduk di bawah lantai. Bersiap hendak menceritakan yang sebenarnya terjadi. Namun, dengan cepat Pharon membantuku untuk berdiri kembali.
“Lupakan. Kembali ke bilikmu. Bersiaplah, sebentar lagi acara perenungan akan dimulai,” ucap Pharon dengan suara serak dan melemah.
Aku terpaku. “Tapi, aku bersumpah atas nama ibuku yang sudah meninggal. Aku sama sekali tidak membunuh Elgar.”
“Adik ipar Steve, tolong antarkan Sharon sampai ke biliknya. Maaf aku tidak bisa mengantarkanmu, Shar. Aku harus merawat Ibu Keil.” Pharon memijat kaki wanita tua yang sedang berbaring lemah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just's Camera(?)
FantasiSharon Blizjackuel beruntung diberikan sebuah kamera. Bukan sembarang kamera. Kamera itu justru selalu menuntunnya memberi petunjuk dalam menghadapi berbagai macam masalah. Mulai dari masalah keluarga, asmara, serta nasibnya yang selalu saja sial...