Cklek!
Pintu berukuran sangat besar berwarna merah terbuka melebar. Awal sampai di rumahnya, aku merasa takjub. Wanita cantik ini mempunyai rumah bak istana. Beda sekali dengan rumah papanku dulu.
Mulutku ternganga kala isi rumah itu terlihat. Hiasannya sederhana namun nampak sangat mewah.
“Tutup mulutmu! Lalat hijau suka sembarangan masuk ke tempat yang bau. Rumahku memang kecil, tapi cukup untuk memenuhi semua kebutuhanku,” ucapnya membuat mulutku langsung terkatup.
Apa katanya? Kecil? Rumah bak istana kerajaan ini ia bilang kecil? Benar-benar menguji iman miskinku.
“Kau ini merendah untuk di tendang? Rumah sebesar ini kau bilang kecil? Lalu rumahku apa? Kandang ayam?” tanyaku yang memelototkan kedua mataku ke arahnya.
Ia terkekeh, “Bukan aku yang bilang,” balasnya. “Sudahlah, mari kuhantarkan kau ke bilik yang cocok untukmu,” imbuhnya mengajakku untuk segera masuk.
Aku menurut saja. Namun tanganku gatal untuk memotret isi rumahnya sebagai bentuk kenang-kenanganku pernah menginjak rumah besar nan mewah ini. Bahkan tangganya saja berlapiskan emas.
“Apa kau tak merasa rugi karena emas ini dipijak-pijak?” tanyaku sambil berjalan jinjit. Berhati-hati naik menginjak tangga tersebut.
Ia tersenyum seperti meledekku. “Santai saja. Emas itu sudah kokoh. Jangan takut ia retak! Berjalan saja seperti biasanya.”
Aku tertunduk menahan sipu maluku. Dengan percaya diri aku menginjaknya dengan keras.
Teng!
Suara yang berasal dari pijakanku berbunyi. Astaga! Apakah aku terlalu kuat menginjaknya? Aku menutup kedua mataku. Berharap wanita ini tak akan menghukumku. Aku tak berani melihat tangga ini retak.
“Hahaha.”
Sebuah tawa keluar dari mulutnya. Aku memberanikan diri membuka secara perlahan kedua mataku untuk melihat tangga yang kuinjak dengan kuat barusan.
Kemudian melirik ke arahnya.“Ada tamu di luar! Kau duluan saja! Pintu bilikmu ada lingkaran putih di depannya. Sebentar, aku mau melayani tamu dulu.”
Aku mengangguk mendengar ucapannya sebelum ia berlari ke depan. Oh, astaga! Aku akan jadi putri kerajaan kah?
Dengan kaki telanjang yang tidak menggunakan alas sama sekali aku lanjut menaiki tangga berlapis emas tersebut agar sampai menuju bilik yang ia katakan tadi.
Lingkaran putih di depannya? Aku melirik kiri dan kanan mencari di mana bilik tersebut.
Cring!
Sebuah cahaya yang bersinar sangat terang menghalangi penglihatanku yang semula jelas menjadi buram membuat kepalaku sangat pusing. Seluruh dunia seperti sedang mengelilingi kepalaku sekarang.
Hingga akhirnya aku terjatuh tak sadarkan diri.
📷📷📷
Aku mengusap-usapkan kedua mata menggunakan jari telunjukku. Perlahan-lahan membuka kelopak mata yang terasa sedikit berat. Cahaya putih di depan bilik itu benar-benar membuatku pusing tadi. Mungkin karena aku belum terbiasa saja.
Kulihat seorang wanita cantik sedang memberikanku sebuah cangkir berwarna kuning. Emas lagi.
“Syukurlah kau sudah sadar. Minum ini!” tawarnya.
Aku menurut dan memajukan bibirku ke mulut cangkir yang sengaja ia miringkan agar isinya bisa kujangkau.
“Terima kasih,” ucapku. Ia hanya mengangguk. “Omong-omong, aku belum tahu namamu,” lanjutku ingin tahu siapa namanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just's Camera(?)
FantasySharon Blizjackuel beruntung diberikan sebuah kamera. Bukan sembarang kamera. Kamera itu justru selalu menuntunnya memberi petunjuk dalam menghadapi berbagai macam masalah. Mulai dari masalah keluarga, asmara, serta nasibnya yang selalu saja sial...