Cerita mungkin berisi beberapa tema yang tergolong DEWASA (21+) seperti seks, bahasa kasar, kekerasan dan triger depresi. Jangan lanjutkan jika Anda di bawah umur. Anda telah diperingati.
Karya ini dilindungi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. PLAGIARISME adalah tindak KEJAHATAN SERIUS, yang melanggar UUD yang akan diproses secara hukum. Dilarang keras MENCURI atau MENYALIN IDE atau BAGIAN DARI CERITA ini, baik sebagian atau seluruhnya. Dilarang keras menyebarkan cerita ini, baik sebagian atau seluruhnya, tanpa izin dari penulis.
All right reserved
Novi C. Palacios
April 2020
Long Island, New York, November 2017.
-Kinan point of view-
Hari yang dingin di bulan November. Kaki-kakiku melangkah dengan cepat menyusuri lorong-lorong kelas sudah hampir kosong. Sebagian besar siswa sudah pulang kerumah mereka atau mungkin menghabiskan waktu bersama teman-teman mereka. Sambil sesekali membenahi sepotong kain yang menutupi leherku. Aku melirik sebuah jam besar di salah satu dinding Lorong yang tampak sedikit pudar. Tiga-lima-belas... Sial! Aku mempercepat langkahku. Tidak ada banyak waktu.
Tanpa berpikir panjang aku berbelok di ujung Lorong yang sedikit gelap. Ada sebuah pintu kecil menuju kamar kecil di sana. Aku berdiri menatap gadis muda dalam balutan mantel panjang yang sedikit kebesaran untuk tubuhnya yang mungil. Gadis muda itu dengan berani menatapku tajam dan mengikuti setiap pergerakanku. Aku tidak yakin apa yang aku rasakan saat melihat wanita di hadapanku ini. Tapi dengan penuh harap, aku menatapnya mengoleskan cairan kental berwarna senada dengan kulit untuk menutupi lingkaran hitam di bawah matanya. Mataku tidak bisa lepas dari bayanganku di cermin.
Hah... Tidak ada yang berubah. Lingkaran hitam di bawah mataku memang tampak lebih samar, tapi itu tidak membuatku lebih menarik. Kadang-kadang aku berpikir, apa gunanya semua ini? Meski aku memuas wajahku dengan berbotol-botol cairan yang katanya, dapat menyamarkan kekurangan di wajahku. Aku tetap tidak secantik dan menarik kebanyakan orang di sini.
Kadang aku sering berpikir, Kenapa dunia ini begitu tidak adil? Mengapa ada orang-orang yang sejak lahir sudah memiliki hidup yang sempurna; uang yang berlimpah, wajah yang simetris, tubuh yang indah, dan tentu saja keluarga yang penuh dengan kasih. Sedangkan ada orang-orang lain seperti aku, terlahir dengan keadaan yang bisa dibilang, malang.
Maksudku, Tuhan itu tidak adil. Bagaimana caranya Tuhan menentukan siapa yang akan dilahirkan nasib baik dan siapa yang akan lahir dengan nasib buruk.
Lucunya, dulu ketika aku masih kecil, aku tidak berpikir seperti ini. Aku tidak pernah berpikir soal nasib baik dan buruk. Aku bahkan tidak pernah sekalipun merasa tidak nyaman dengan penampilanku. Ketika masih kecil aku tergolong anak perempuan yang menarik. Anak-anak perempuan lain di kelasku kerap memuji penampilanku dan tidak sedikit anak-anak laki-laki yang berusaha mencuri perhatianku dengan cara-cara yang konyol, namun manis.
Aku tidak yakin sejak kapan tepatnya. Tapi sepertinya setelah tumbuh dewasa aku kehilangan semua pesonaku dan menjadi semakin tidak menarik.
bzz... bzz...
"Ah, sial!" tanpa sengaja aku mengumpat. Dengan cepat aku menekan tombol hijau di layar iPhone-ku. Terdengar suara berat yang sangat familiar dari ujung telepon. Suara yang selalu mengirimkan getaran aneh di tubuhku.
"Kinan?"
"Yah?"
"Aku sudah sampai." Ah, dia sudah sampai. Dengan cepat aku mengumpulkan peralatan riasku dan dan berlari secepat mungkin ke pintu utama. Dia benci kalau harus menunggu. Tapi siapa yang tidak benci menunggu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Familiar Pain (Indonesia)
RomanceWARNING: 21+ (ADULT CONTENT: Secara rutin menyinggung Kekerasan dan adegan panas, yang tidak di anjurkan untuk pembaca di bawah umur.) "Apa aku harus merusakmu, supaya kamu tidak bisa lari lagi?" - Alex "Kamu mengirimkan aku ke neraka, dan aku menye...