Flash back on
Gianyar, Bali, 2013.
Ibuku selalu bilang, di balik laki-laki ketus dan dingin itu, ada sosok lembut yang kesepian. Sosok yang merindukan kasih sayang dan kehangatan. Aku rasa ibuku terlalu banyak menonton drama korea dan terlalu sering berkhayal. Karena seingatku, bapak bukanlah seorang laki-laki yang lembut dan hangat. Sejujurnya, aku tidak begitu mengenal bapak. Bapak adalah sosok yang hampir tidak pernah ada untuk kami, keluarga kecilnya. Aku juga tidak yakin seperti apa hubungan kami sebenarnya, ibuku bilang bapak sangat menyayangi kami. Meski aku sangat meragukan hal itu. Tapi ada satu hal yang aku tahu pasti: Aku berhutang seluruh hidupku terhadap laki-laki dingin itu.
Aku sangat berterimakasih padanya terlepas dari luka-luka lebam yang pernah dilukiskannya di atas tubuh kecilku. Terlepas dari goresan-goresan permanen yang diukirnya dalam-dalam di dalam jiwaku. Karena bapak adalah orang yang telah membuatku aku yang sekarang ini.
Semua berawal 4 tahun lalu, ketika aku menatap tubuh kakunya habis terbakar.
Hati itu merupakan hari yang paling menyedihkan bagi ibuku di rumah kami. Semua keluarga dan kerabat-kerabat kamu berkumpul untuk berduka atas kematian bapak dan mengenangnya dalam ingatan penuh cinta kasih.
Untuk banyak orang, bapak adalah seorang laki-laki baik. Terhormat dan bermartabat tinggi. Bapak adalah sosok pemimpin yang dikagumi di banjar[1] kami. Untukku dan saudari-saudariku, bapak adalah teror dan rasa sakit yang konstan.
Sedikit yang orang tahu tentang sosok lain dari bapak. Tapi aku rasa, lebih baik jika tidak ada yang tahu tentang sisi gelapnya, terlebih di hari kematiannya.
Ada sebuah tradisi untuk tidak menangis di pemakaman adat Bali. Air mata hanya akan menyusahkan arwah orang yang sudah mati dalam perjalanannya ke alam baka. Tidak seorangpun dengan hati nurani dan pikiran yang lurus mau menyusahkan arwah orang mati. Jadi ketika orang ramai berusaha menahan air mata dan duka mereka. Aku dan kakak-kakak perempuanku berdiri di sana dengan kokoh dan tegar. Mengucapkan terimakasih pada setiap orang yang datang.
Dari jauh, aku mendengar orang berbisik-bisik tentang kami. Betapa bangganya bapak jika ia tahu betapa dewasa dan kuat putri-putrinya ini. Memang seperti yang diharapkan dari putri Ida Bagus[2]. Tenang dan tegar bahkan di dalam situasi memprihatinkan seperti ini. Perkataan mereka hampir semuanya benar, kecuali tidak seorangpun dari kami dalam situasi yang memprihatinkan.
"Kasihan kamu dayu[3].... Kamu masih kecil, sudah harus seperti ini. Kasihan kamu yu..." Tangis wanita paruh baya yang datang padaku dengan tangan terbuka lebar. Wanita paruh baya itu berusaha menenangkan ku dengan pelukannya yang hangat.
"Makasih Wak[4]." Kataku sambil memeluk wanita malang yang sedang berduka ini. Ni Made, adik perempuan dari bapak, terlihat lebih membutuhkan pelukan itu daripada aku, anaknya. Pasti sangat berat untuk Ni Made menerima kepergian bapak. Meski bapak ketus dan dingin, untuk adik perempuannya, bapak banyak membantunya mewujudkan mimpinya. Mimpi yang ditentang ibu mereka.
"Gus... bagaimana bisa Bli[5] pergi begitu cepat? Bagaimana bisa Bli meninggalkan anak-anak yang masih kecil-kecil ini? Bagaimana nasib Mbok nanti Bli...."
Aku sendiri tidak yakin bagaimana caranya bapak melakukan semua ini. Tapi sejujurnya, aku tidak keberatan. Terserah jika mau disebut anak durhaka. Meskipun terdengar kurang ajar. Aku tidak bisa merasakan kesedihan setetespun atas kematian bapak. Sebaliknya, aku justru merasa lega. Aku ingin sekali menegur Ni Made yang sedang menangis tersedu-sedu. Tapi melihat pundaknya yang bergetar di dalam pelukanku, aku mengurungkan niatku. Biar saja mau bapak susah di perjalanannya ke alam baka nanti, aku lebih peduli pada Ni Made yang sedang terluka hatinya.
![](https://img.wattpad.com/cover/230771127-288-k134151.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Familiar Pain (Indonesia)
RomanceWARNING: 21+ (ADULT CONTENT: Secara rutin menyinggung Kekerasan dan adegan panas, yang tidak di anjurkan untuk pembaca di bawah umur.) "Apa aku harus merusakmu, supaya kamu tidak bisa lari lagi?" - Alex "Kamu mengirimkan aku ke neraka, dan aku menye...