Laki-laki Beraroma Kayu

357 12 1
                                    


Long Island, New York, Desember 2017.

Aku tidak seharusnya berada disini. Penglihatanku mulai kabur. Kepalaku berdenyut. Di mana Rebecca sialan itu? Aku tidak ingin berada di sini lebih lama. Aku ingin pulang. Tempat ini gelap, namun ada lampu sorot yang berkedip-kedip lebih cepat dari detak jantung. Menyinari tubuh-tubuh berkeringat yang sibuk menari dalam kerumunan. Larut dalam alunan musik yang berdebar kencang. Ada asap putih yang menyesakkan menyelimuti setiap sudutnya. Ramainya suara tawa dan omong kosong yang terdistorsi membuatku muak.

Seseorang, tolong! Aku tidak bisa bernafas. Mataku menjelajahi seluruh ruangan untuk mencari jalan keluar. Alex benar, tidak seharusnya aku pergi ke tempat seperti ini. Alex pasti marah kalau melihatku seperti sekarang ini.

Aku bersandar pada salah satu dinding yang kosong cukup jauh dari keramaian. Oh Tuhan. Ini benar-benar kacau. Entah kenapa aku bisa setuju untuk datang ke tempat semacam ini? Oh iya, mungkin karena Rebbeca bilang ini akan menjadi malam yang penuh dengan kesenangan. Sepertinya Rebbeca memiliki definisi yang berbeda tentang kata 'menyenangkan'.

"Hai. Kinan, kan?"

Sesosok laki-laki dengan jaket dari tim basket sekolah kami datang berjalan ke arahku. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas di tengah kegelapan. Meski begitu, aku tahu dia memiliki tubuh yang cukup atletis. Setidaknya jauh lebih baik dari anak laki-laki sepantarannya. Sepertinya aku pernah melihatnya di suatu tempat, tapi entah di mana.

"Iya." Jawabku acuh sambil terus mencari jalan keluar. Aku harus keluar dari sini dan menelepon seseorang.

"Aku Brian."

"Hai, Brian."

"Kamu terlihat cantik malam ini." Hahaha. Klasik. Bahkan dengan cahaya yang tidak seberapa, aku bisa melihat naluri binatang di matanya. Menjijikkan.

"Terima kasih."

"Kamu mau minum?"

Katanya sambil menyodorkan segelas soda. Aku menatap gelas itu ragu. Ada suara kecil yang mengingatkan ku untuk tidak mengambil minuman itu.

"Nggak.... Aku... Aku nggak seharusnya minum...."

Sial Kinan! Bisakah menjaga sikapmu? Kamu terdengar seperti seorang pecundang!

"Ayolah, ini ringan kok. Ini hanya soda."

Aku hanya menatap gelas yang ditawarkannya dengan ragu

"Aku hanya mencoba berbaik hati padamu. Kamu nggak akan menolak niat baikku kan?" Lanjutnya. Baiklah, kamu nggak boleh menolak maksud baik orang kan, Kinan?

"Okay." Kataku seraya menerima gelas berisi cairan hitam pekat dari tangan laki-laki itu.

"Nice, Ayo duduk bersama kami." Senyumnya seraya mencoba mendaratkan tangannya di pinggangku. Aku dengan cepat mengelak. Aku bisa mendengar segerombolan anak laki-laki bersorak sambil menggoda dan mengejek Brian.

"Tidak, terimakasih. Aku baik-baik saja."

"Ayolah, tidak perlu malu. Duduklah bersamaku."

"Sebenarnya aku sedang mencari jalan keluar, aku butuh angina segar." Sial! Kepalaku berputar lagi.

"Begitukah?" katanya dengan nada menggoda. Ia mengambil satu langkah lebih dekat padaku yang terperangkap di antara dinding dan dirinya. Ia berdiri begitu dekat hingga aku bisa mencium aroma tubuhnya. Bau keringat yang tercampur dengan rokok dan alkohol. Tersamarkan oleh bau musk dan kayu yang kuat. Aku mencoba mendorongnya, tapi ia sama sekali tidak bergeming. Ia malah melangkah lebih dekat. Ia mengangkat tangannya seperti ingin menyentuh wajahku. Jantungku berdetak tak terkendali, nafasku pendek. Rebbeca sialan! Bisa-bisanya dia meninggalkan sendirian dan sibuk dengan Julian.

Familiar Pain (Indonesia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang