"Bolehkah aku sedikit egois untuk tak membiarkanmu kembali bahagia saat bukan bersamaku?"
***
Adisa Jane membanting tubuhnya ke atas single bed yang sudah ia tempati selama dua tahun belakangan. Rasa lelah keluar dari tubuh semampainya yang berbalut kardigan tipis berwarna putih tulang dan mini dress 7/8 motif polkadot. Ia baru saja selesai menjalani latihan intensif bersama tim balet untuk kejuaraan nasional dua bulan lagi.
Wanita berusia 26 tahun itu menghela napas panjang seiring kedua kelopak matanya yang menutup untuk melepas lelah. Kondisi asrama tim balet saat itu masih sepi karena Disa memilih kembali lebih dulu dari kawan-kawannya yang sedang menikmati teraktiran ulang tahun anak dari pelatihnya. Bahkan teman satu kamarnya belum juga pulang.
Disa beranjak bangun. Begitu selesai mandi, ia ingin langsung menikmati jam tidurnya yang sedikit lebih panjang kali ini, namun ternyata ponsel persegi panjangnya berdering, membuat rencananya tertunda.
"Halo?"
Hening menghampiri kamar dengan dua single bed itu selama beberapa detik. Mata sayu Disa membelalak. Setelah menutup sambungan telepon, ia segera meraih sweter rajut biru mudanya dan berlari keluar asrama. Disa menghentikan sebuah taksi yang kebetulan lewat.
"Rumah Sakit Nusantara, Pak." ujar Disa pada supir taksi. Roda mobil sedan tersebut melaju dengan kecepatan 70 kilometer per jam menuju tempat yang Disa sebutkan. Tak sampai tiga puluh menit, Disa sudah berada di lobi Rumah Sakit Nusantara. Ia segera menanyakan ruang rawat 2912 pada resepsionis.
'Bang Malvin kecelakaan, Kak. Dia kritis.'
Kalimat yang menjadi alasan Disa berlari kencang dari asrama itu kembali terngiang di telinganya. Jantungnya berdebar tak tentu. Ia sulit membayangkan kondisi laki-laki yang pernah mengisi harinya itu sekarang. Kekhawatiran sudah tak dapat ia kontrol dengan baik, terlebih ketika matanya mendapati empat digit nomor kamar rawat tersebut.
Disa mengintip sosok Malvin yang terbaring lemah dengan tabung oksigen menutupi hidung dan mulutnya. Seketika lututnya terasa lemas. Perlahan Disa masuk ke dalam ruangan. Ia disambut Hani, adik sepupu Malvin yang sudah menganggap Disa sebagai kakaknya sendiri.
"Kata dokter, Bang Malvin akan sadar kurang dari 24 jam. Masa kritisnya udah lewat. Jangan khawatir." Hani mencoba memberi penjelasan.
Seharusnya kata-kata itu menjadi hal yang melegakan, namun bagi Disa, kekhawatirannya justru semakin besar, mengingat Malvin juga pernah kritis karena penyakit demam berdarah ketika mereka SMA.
Dan masih saling mencintai.
Sudut mata Disa menangkap gerakan lemah dari jari-jari Malvin. Ia langsung menghampiri laki-laki itu dengan cemas. "Vin, kamu dengar suara aku?" tanya Disa dengan suaranya yang lirih.
Orang yang diajaknya berbicara mencoba membuka matanya perlahan.
***
"Anterogade Amnesia?"
Begitu dokter yang menangani Malvin keluar dari pintu geser berwarna abu-abu itu, Disa segera menanyainya. Dokter pria bernama Baagus tersebut mengajak Disa ke ruangannya untuk membicarakan sakit yang diderita Malvin.
"Benar. Pasien kehilangan memori yang baru terbentuk dikarenakan benturan pada otak." jelas Dokter Bagus.
Disa menahan nafas lalu menghembuskannya perlahan. Pandangannya tak menentu. Kenyataan yang baru saja ia dengar membuat ia kembali mengingat kejadian beberapa menit yang lalu ketika Malvin siuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
KESEMPATAN KEDUA
Short Story"Bolehkah aku sedikit egois untuk tak membiarkanmu kembali bahagia saat bukan bersamaku?" Adisa Jane tentu seperti bermimpi ketika ia menemukan sang mantan kekasih yang belum sepenuhnya ia relakan mengalami amnesia dan hanya mengingatnya. Agaknya Tu...