🚫DiLARANG PLAGIAT! 🚫
JIKA ADA KESAMAAN TOKOH. MOHON MAAF BUKAN DI SENGAJA.
Adinda dan Ridho. Dua sahabat yang saling mengerti dalam diam, saling menyimpan rasa tanpa pernah benar-benar berani mengucap. Tapi takdir memaksa mereka mengambil jalan b...
Pagi hari, Adinda sudah terbangun dan kini ia sedang menghirup udara segar di pagi yang cerah ini. Sinar matahari yang lembut menyinari kamar, dan burung-burung berkicauan di luar jendela, menciptakan suasana yang damai.
Adinda melihat bunga yang diberikan Ridho, bunga mawar berwarna merah muda yang sangat indah. Ia tersenyum saat mengenang betapa manisnya momen ketika Ridho memberikannya bunga tersebut. Itu adalah kado tahun lalu saat ia merayakan ulang tahunnya. Kenangan itu membuat hatinya hangat. Ia juga melihat Rafka, suaminya yang baru saja keluar dari kamar mandi, terlihat segar seperti pagi hari.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Aku mau bicara sama kamu," ujar Rafka dengan nada yang serius.
"Itu juga sudah ngomong, kan?" tanya Adinda sambil menaikkan alisnya, berusaha untuk tetap santai meskipun ada firasat tidak enak di dalam hatinya.
Rafka menghembuskan napas panjang, seolah menyiapkan diri untuk mengungkapkan sesuatu yang penting.
"Dengarkan saya. Besok lusa kita akan pindah ke Bandung," ucap Rafka, membuat senyum Adinda memudar seketika.
"Maksudmu?" tanya Adinda, nada suaranya menjadi lebih ketus.
"Baru saja kau mendaftarkan aku di kampus lamamu, dan sekarang? Kak Rafka jangan seenaknya sama Dinda," lanjut Adinda, merasa sangat keberatan diatur tanpa persetujuannya. Rasa frustrasi menyelinap di dalam hatinya, bercampur dengan ketidakpastian.
"Ya, tapi saya mau kita pindah. Saya sudah membangun rumah di Bandung, dan kantor saya juga pindah cabang ke sana," jawab Rafka tegas, dengan ekspresi yang menunjukkan tidak akan ada kompromi.
Adinda merasa dunia seolah runtuh di sekelilingnya. "Dan hari ini kamu harus bersiap. Saya akan urus kuliahmu," lanjut Rafka, masih dengan sikap yang mantap.
"Tidak! Aku tidak mau! Aku hanya ingin di sini dan tidak mau pindah kampus!" Adinda menolak dengan keras, berusaha mempertahankan apa yang dia cintai—teman-temannya, tempatnya, semua kenangan indah yang sudah terjalin.
"Semua sudah terlanjur. Saya yang menentukan, dan kamu yang menuruti," ucapan Rafka terasa seperti belenggu, menekan kebebasan Adinda.
"Aku tidak mau. Dan Bunda juga tidak akan setuju," kekeh Adinda, berpegang pada harapan bahwa ibunya akan mendukungnya.
"Apa perlu saya telepon bundamu? Saya suamimu, dan kamu harus menuruti apa mauku!" tegas Rafka, suaranya mulai meninggi, menyiratkan betapa seriusnya situasi ini.
"T—" Adinda sudah mau mengelak, namun Rafka memotong. "Saya tidak suka penolakan!" Rafka langsung pergi meninggalkan Adinda, meninggalkan dirinya dalam kebingungan dan kesedihan.