Gadis berseragam SMA sedang menatap ibunya dengan wajah memelas, memohon sesuatu. Saat ini mereka sedang sarapan bersama layaknya keluarga pada umumnya.
"Biar ditekuk seperti apa itu wajah, ibu tetap tidak izinkan," ucap ibunya.
Gadis dengan rambut sepunggung itu menggigit rotinya dengan kasar karena kesal. Dikunyahnya roti dengan memayunkan bibir.
"Kamu kira wajah kamu cantik kalau digituin?" ledek ibunya.
"Memang cantik, biar dijelek-jelekkin seperti apa juga tetap cantik. Memang sudah cantik dari sananya." Meraih segelas susu coklat yang ada di dekatnya, diminum hingga tinggal setengah.
"Ih, pedenya," balas ibunya. Senyum selalu saja terukir di bibirnya, dia berharap kali ini anaknya menuruti kemauannya. Jangan hanya keinginan anaknya terus yang selalu dia penuhi.
Viana Larasati gadis berbulu mata lentik alami. Persis seperti ibunya, Raina. Dia juga bermata coklat dan memiliki hidung mancung yang diwarisi dari ayahnya, Damar. Memiliki ibu yang cantik dan ayah yang tampan berimbas pada dirinya, sebab tanpa berdandan Viana masih cantik. Bahkan saat cemberut dan marah pun tetap cantik. Jika dilihat dari segi fisik dia sangat sempurna, tetapi siapa sangka dibalik kecantikan parasnya itu dia punya kepribadian jelek.
"Boleh ya, Bu." Dia masih saja membujuk agar keinginannya kali ini juga terpenuhi.
"Sekali tidak, tetap tidak."
"Ibu tidak sayang sama Via," rutuknya sambil menyentakkan kaki.
"Justru ibu sayang sama kamu!" Kali ini Raina sedikit mengeraskan suaranya. "Ini juga demi keselamatan kamu."
"Ayah!" Kini gadis itu menatap Damar agar membujuk Raina. Dia tahu, sekali ayahnya bersuara ibunya pasti setuju karena tidak mau membantah suami. Dan dia selalu menggunakan kelemahan itu untuk memenuhi semua keinginannya.
"Izinkan saja, Bu." Damar yang sejak tadi menikmati sarapannya sambil memperhatikan anak dan istrinya berdebat, bersuara.
Viana mengangguk menatap ibunnya, semoga kali ini dia menurut lagi.
"Mas ini bagaimana, sih? Harusnya Mas itu dukung aku dong. Viana itu masih kecil, dia belum boleh menyetir sendiri." Raina masih saja dengan pendiriannya.
Viana lagi-lagi cemberut. Masih kecil bagaimana? Dia sudah enam belas tahun dan bulan lalu dia merayakan hari istimewanya itu. Keinginannya kali ini ingin menyetir sendiri ke sekolah. Banyak juga anak sebayanya yang membawa mobil sendiri, masa dia anak orang yang cukup dikenali di kota ini ke sekolah selalu diantar jemput sopir?
"Tidak apa-apa, Bu. Yang penting Viana jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya." Viana mengangguk kecil mengiyakan perkataan ayahnya.
Kali ini Raina diam lagi, tak ingin berdebat dengan suaminya pagi-pagi di depan meja makan dan di depan Viana. Dia sedikit kesal karena suaminya tidak sependapat dengannya. Biar bagaimana Viana belum diperbolehkan mengendarai mobil sendiri, dia belum memiliki SIM.
Viana berdiri dan berlari kecil ke arah ayahnya. Dia memeluk Damar. "Makasih, Ayah memang baik."
Hampir saja Damar tersendat karena pergerakan tiba-tiba Viana, karena saat Viana memeluknya dia sedang menyeruput kopi. Damar mengangguk kecil menanggapi putrinya itu. Dia selalu memanjakan Viana, apa pun yang diinginkan dia pasti memenuhinya. Seperti permintaan Viana untuk hadiah ulang tahunya bulan kemarin yang juga dituruti, meski Raina tidak setuju.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Mute
CasualeAwalnya hidup bahagia, keluarga lengkap dan bergelimpangan harta. Sempat sombong dan angkuh kerena memiliki semua itu. Namanya Viana Larasati gadis berusia 16 tahun, rasa sombongnya hilang saat mengalami kecelakaan dan keluarganya berantakan. Di sek...