Jalandra Arsa Arkananta

78 12 1
                                    


	Sejak kecil, hidup gue dipenuhi oleh tuntutan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sejak kecil, hidup gue dipenuhi oleh tuntutan. Pergi les sana-sini, belajar ini itu, mewujudkan semua keinginan keluarga.

Gue dituntut untuk menjadi laki-laki yang kuat oleh papa; dituntut menjadi laki-laki penyayang oleh mama; dituntut menjadi sulung yang bertanggung jawab dan punya masa depan cerah. Padahal nyatanya, kejadian apa yang bakal terjadi di menit selanjutnya aja gue nggak tahu.

Hidup itu naik-turun. Sedih-senang. Antonim. Dan sebagai manusia yang serba kekurangan, nggak ada yang tahu persis perihal nasib serta masa depan. Lo bisa berbahagia karena baru gajian, tapi detik selanjutnya nangis darah karena kecopetan. Maka dari itu, kita harus banyak berusaha dan tawakal. Bukannya terlalu banyak berharap.

Tapi nyatanya, semua tuntutan itu berlaku kepada gue. Menjadikan gue Jalandra Arsa Arkananta yang seperti ini. Arsa yang manut dan ramah, yang mengayomi, yang selalu tersenyum, yang membohongi diri sendiri dan membenci rumah.

Gue sempat membenci rumah saat gue belum paham seberapa liarnya dunia luar dan seberapa beruntungnya gue punya tempat tinggal. Jaman SMA dulu, waktu papa lagi sering-seringnya dinas ke luar kota dan mama sibuk ngurusin kelulusan adik gue, gue sering "kabur" dari rumah demi menyelamatkan diri sendiri. Entah ke rumah Biru—sahabat gue—bohong kerja kelompok, sampai gabut keliling kota naik motor atau angkot. Kata pulang dan Arsa amat sangat nggak cocok untuk disandingkan bersama. Nggak, sebelum gue bertemu banyak manusia serta keberagamannya di bangku kuliah dan sebelum gue berpikir banyak soal hidup.

Pandangan gue banyak berubah.

Dulu, gue pikir yang namanya rumah itu benar-benar sekadar bangunan berisi keluarga yang jadi satu-satunya tempat untuk pulang. Gue paling nggak percaya sama yang namanya rumah dalam konteks lain, apalagi kalau perwujudannya itu manusia kayak yang kebanyakan orang, novel, serta film bilang. Bagi gue, itu omong kosong.

Definisi sesungguhnya aja belum tentu selalu valid, gimana kalau perwujudannya manusia si makhluk dinamis?

Tapi seiring waktu, lama-lama gue sadar kalau definisi rumah itu nggak selalu valid karena adanya sudut pandang yang berbeda. Definisi rumah bagi gue belum tentu sama dengan definisi lo—terlepas dari konteks rumah sebagai bangunan tempat kita tinggal. Maksud gue di sini adalah dari sisi emosionalnya.

Bagi gue—Arsa dewasa—rumah itu tempat pulang, tempat gue bisa jadi diri sendiri, tempat gue melepas segala branding dan topeng yang tersemat, dan tempat gue untuk rehat—istirahat dari dunia luar. Sementara bagi lo, gue nggak tahu. Bisa jadi beda.

Dari sini gue juga sadar. Oh, gini toh maksud orang-orang waktu nyambung-nyambungin rumah sama manusia.

Gue sadar kalau pendapat gue soal rumah dalam perwujudan sosok manusia itu juga omong kosong karena gue berpendapat sebelum merasakannya sendiri. Gue belum melakukan penelitian dan sebagainya. Nggak salah, sih. Cuman jilat ludah sendiri aja haha—yah namanya juga manusia. Setelah gue paham dan merasakan sendiri, gue ikut setuju. 100% malah.

Karena sosok itu Dean, dan Dean perwujudan manusia dari apa yang gue definisikan sebagai rumah.[]

twitter : rumah sabitahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang