"Austin?"
"Hmm?"
"Ingus aku ada di kaus kamu," kata Riley yang masih memeluk pria itu dan menyadari kalau ingusnya telah berpindah dari hidungnya ke kaus putih yang dikenakan pria itu.
Austin yang tidak memperhatikan hal tersebut berkata kepada Riley, "Aku tidak peduli Riley. Aku bisa membeli semua kaus putih di dunia ini."
"Sombong," kata Riley yang tersenyum kecil. Riley melepaskan pelukanya dari pria itu dan berjinjit, "Kamu panas sekali, demam kamu semakin tinggi sepertinya Austin."
Austin melupakan demamnya dan masih memikirkan apa yang baru saja ia ketahui mengenai Riley sementara wanita itu panik berjalan menjauh darinya untuk mengambil termometer untuk memeriksa suhu tubuhnya. "Tiga puluh sembilan, ya Tuhan, baiklah ayo kita kembali ke rumah sakit."
"Aku tidak mau ke rumah sakit."
Riley yang terlihat sangat kacau dengan mata bengkak merah, pipi yang merona, dan air mata kering mengerutkan dahinya kepada Austin, "Terus kamu mau kemana? Apa kamu mau tidur disini?"
Austin Alden yang tadinya sangat marah menatap Riley Renata Agnibrata dengan senyum dibibirnya yang tidak bisa ia tutupi, "Aku akan menerima undangan untuk tidur dengan kamu kalau begitu."
"Di apartemen aku—sofa—maksud aku sofa. Sofa, Austin. Sofa, tempat kamu tidur. Sofaku yang berwarna hijau di ruang tamu. Sofa, ya sofa, kamu boleh tidur di sofa," kata Riley.
"Aku belum pernah mendengar seseorang mengatakan kata 'sofa' sebanyak itu di dalam satu kalimat, Riley," kata Austin.
"Ya, sofa, Austin."
"Ya, sofa, Riley," kata Austin dengan nakal.
"Aku akan mencari obat penurun panas untukmu dan baju ganti...." Riley mengerutkan dahinya untuk yang terakhir karena sebenarnya ia tidak memiliki pakaian pria di apartemennya.
Austin bertanya dengan sangat posesif, "Memangnya siapa yang pernah menginap di rumahmu? Aku tidak mau pakai pakaian pria manapun dari apartemenmu Riley."
"Mason menginap sebulan yang lalu," kata Riley menjelaskan kalau adik tirinya menginap untuk beberapa waktu di apartemennya.
"Oh," kata Austin.
"Aku akan mencari apa ia meninggalkan kaus."
"Aku tidak tidur dengan pakaian Riley."
"Tapi kamu demam, Bodoh."
"The more I should be naked, no?"
Riley dengan kesal berkata, "Baiklah, terserah kamu." Ketika Riley menyelesaikan kata-katanya Austin sudah berjalan kehadapannya. "Apa yang...."
Pria itu membuka kausnya membuat pandangan Riley berkeliaran ke dada pria itu yang penuh dengan rambut hitam halus turun ke perut pria itu yang.... "Goodnight Riley."
"Oh, ya," kata Riley.
Austin berjalan ke ruang tamu Riley dan mendesah kesal. "Sofanya sangat kecil."
Riley tidak bisa berhenti menatap pria itu yang sekarang berusaha tidur di sofa kecil berwarna hijau, kaki pria itu jelas terlalu panjang dan tubuh Austin sekarang terlihat seperti... Dewa seks. Ya, tidak heran semua wanita bodoh menginginkan Austin ketika pria itu memiliki tubuh yang begitu menggiurkan. Menggiurkan? Apa otakku sudah rusak? Pikir Riley.
Satu menit yang lalu ia merasakan tubuh hangat Austin di dalam pelukannya. Rasa hangat tubuhnya membuat Riley tenang dan sejenak ia melupakan mimpi buruknya. Mimpi yang selama ini terus menghantuinya mengenai Damien Teheran.
Sekarang menit berikutnya, Austin adalah pria yang sama ia kenal dari kecil kecuali lebih menyebalkan. Riley mencari obat penurun panas untuk Austin dan mengambil air putih untuk pria itu minum. Tapi ketika Riley kembali pria itu sudah memeluk bantal sofa milik Riley dan tertidur. "Austin?"
"Austin?" Riley mengerutkan dahinya. Lalu ia berjalan dan memeriksa dahi pria itu. Karena demam pria itu sangat tinggi Riley berasumsi pria itu sekarang jatuh pingsan dan untung saja pria itu sudah melakukannya dalam posisi tertidur sehingga Riley tidak perlu lagi mengangkatnya. Ia juga bersyukur Austin kehilangan kesadarannya di rumahnya dan bukan ketika pria itu mengemudi. Riley menaruh gelas dan obat yang akan ia berikan setelah Austin sadarkan diri.
Lalu Riley mengambil selimut dari kamarnya dan menyelimuti tubuh dewa seks dihadapannya. Austin tidak sadarkan diri dengan bantal yang ia peluk adalah gambaran yang sangat berbeda dengan pria itu yang bercinta dengan banyak wanita di pikiran Riley dan apa yang telah dilihatnya sendiri. "Such a kid," kata Riley tersenyum menutupi tubuh pria itu.
Riley memeriksa suhu tubuh Austin sekali lagi dan memutuskan ia akan mengompres dahi Austin untuk membantunya menurunkan panas tubuhnya. Setelah Riley mengompres dahi Austin dan duduk di depan sofa dan pria itu, ia tiba-tiba memiliki rencana.
Ia berjalan perlahan-lahan menjauhi sofa, menuju meja kerjanya yang berada di ruangan yang sama karena apartemennya sangat kecil, dan mengeluarkan spidol hitam. Riley membawanya kembali kehadapan pria itu yang tertidur dan tersenyum....
"Lingkaran kecil...." Riley pertama menggambarkan lingkaran disekeliling mata kanan Austin. Pria itu bergerak sedikit dan Riley harus berhenti tapi ia meneruskannya....
"Lingkaran kecil...." Riley menyanyikan nada lagu tersebut ketika ia melingkarkan mata kiri Austin dengan spidolnya dan tertawa....
Lalu Riley terus menyanyi, "Lingkaran besar...." Riley lalu menggambar lingkaran besar diseputar bibir pria. Riley melihat mahakaryanya dan memberikan sentuhan terakhir. "Aku akan menggambar kumis melingkar," katanya.
Riley menutup mulutnya dengan tangan ketika ia selesai. Ia tertawa.
"Dewa Seks, my ass," kata Riley.
"Aku sangat bersyukur kamu temanku Austin," bisik Riley sebelum ia menambahkan, "Kalau aku wanita-wanita bodoh yang kamu tiduri, aku tidak bisa melakukan ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Play Pretend | Red Series No. 1
RomanceTELAH DITERBITKAN (PENERBIT: BUKUNE PUBLISHING) PLAY PRETEND. © 2020, Cecillia Wangsadinata (CE.WNG). All rights Reserved. ADULT CONTENT (25+). VIEWERS DISCRETION ADVISED. THIS WORK HAS FOLLOWED THE WATTPAD GUIDELINES FOR MATURE RATING. =========...