T i g a : R u m a h S a k i t

8 3 0
                                    

"Nggak usah sok perduli, kalo cuma pura-pura."

<Sheilina Mayfani>

Aku mengerjapkan mataku perlahan. Menyesuaikan cahaya yang menyilaukan ini. Aku melihat ke sekililing ruangan bercat putih ini.

Rumah sakit.

Aku menghela napas kasar. Mengapa juga harus dibawa ke rumah sakit orang lukanya juga nggak seberapa. Aku menatap abang pertamaku yang tengah tertidur di sofa.

Disaat aku ingin meraih gelas yang berisikan air putih tiba-tiba abang Izqu langsung bangun dan mengambilkannya untukku. "Kamu haus?"tanya bang Izqu yang langsung ku balas dengan anggukan. "Kenapa nggak bangunin abang? Kalo kami haus atau butuh apa-apa bilang aja nggak papa walau abang lagi tidur, ngerti?"

"Iya bang iya bawel ih."

Aku pun kembali berbaring dan berusaha untuk tidur kembali. Disaat aku sudah akan terlelap, aku terbangun karena ucapan abangku itu. "Mama sama papa lagi dijalan."

"Lah bukannya mama sama papa lagi ada urusan ya?" tanyaku heran.

"Iya mereka langsung pulang pas denger kalau kamu masuk rumah sakit."

"Lagian kenapa harus bawa Gege ke rumah sakit sih orang lukanya nggak seberapa kok," omelku.

"Nggak seberapa gimana. Orang sampe harus dijahit kok." Belum sempat aku membalas ucapannya abang kembali berbicara,"udah sekarang istirahat aja. Siapin mental buat nanti malem."

Siapin mental?
Ada apaan ya? Kok firasat gue nggak enak! Batinku.

Aku pun memutuskan untuk tidur sejenak. Menghilangkan rasa pusing yang kembali datang.

♨♨♨

"Jadi apa ada yang bisa jelasin ke mama?"tanya mamaku kepada para abang dan kak Shei.

Bang Gheo pun menceritakan semuanya dari awal sampai akhir. Tanpa ada yang dilebih-lebihkan dan dikurang-kurangi. Semua orang yang berada di dalam ruangan itu tampak terkejut. Kecuali kak Shei yang kini tengah menunduk dengan tangan meremas rok pendeknya.

Suara papa terdengar tegas, papa terlihat menahan amarahnya kepada kak Shei. "Kamu ini udah bener-bener keterlaluan Shei. Dia itu adik kamu. Tapi kamu malah tega ngelakuin itu ke adik kamu sendiri."

Aku hanya bisa diam. Berbicara pada papa pun tidak akan didengar ketika sedang seperti ini. Aku menghela napas berat, menatap abangku satu persatu. Tidak ada yang berani menjawab omongan papa. Aku berusaha untuk membujuk papa supaya papa nggak marah sama kak Shei. "Pah udah, Gege nggak papa kok."

"Nggak papa gimana? Jidatmu sampai harus dijahit gitu kok dibilang nggak papa. Kalo seandainya ada hal buruk terjadi sama kamu gimana coba?" omel Papa.

Aku meneguk ludahku dengan susah payah. Menatap ayahku yang juga tengah menatapku dengan tatapan tajamnya. "Pa ...," ucapku dengan nada memohon.

"Diam!"

Aku hanya bisa diam. Dan tidak bisa banyak membantu kak Shei supaya tidak dibentak sama papa.

"Papa nggak pernah ngajarin anak papa kasar seperti itu ya! Mau ke sesama saudara atau enggak tetep aja itu nggak boleh! Paham Shei?"

GHEA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang