NOVENA |3

21 2 0
                                    

"Gue bilang jangan berkeliaran sembarangan, Sat! Kenapa  lo gak dengerin sih?!" Sehun naik pitam saat mendapati Lay berkeliaran di area kamarnya.

Lay yang kini duduk di atas ranjang Sehun hanya menatap laki-laki itu malas.

"Lo harus hargain privasi orang dong! Jangan main masuk aja mentang-mentang ini ju--"

"Heh, anjay! Ini apaan?" Lay memotong omelan Sehun dengan melempar sebuah benda berwarna pink cerah.

Sehun mengangkat benda yang tadi mengenai wajahnya. Matanya membulat. "Lo dapat ini dari mana?!"

Lay memutar bola mata malas. "Gak bener kerjaan lo. Perlu dilaporin kayaknya sama nyokap. Gini kelakuan lo selama ini, Hun?"

Sehun kehabisan kata. Matanya sibuk menatap benda yang ada di tangannya. Kok ini bisa ada di sini?!

Lay bangkit berdiri. Menepuk bahu Sehun tegas. "Jangan main-main lo. Kalo dikasih kesempatan ya pergunakan dengan baik. Jangan ulangi hal yang sama untuk ke dua kalinya."

Sementara itu Sehun mengepal ke dua tangannya mendengar perkataan  Lay. Dan saat pintu kamarnya tertutup, Sehun mendengus dan mendudukkan diri. Meredam emosi yang tadi tersulut. 

Dia memijit keningnya. "Kenapa juga kacamata lo ada di sini, Ven?"

Sehun kembali menatap benda di tangannya. Kemudian bangkit berdiri dan memasukkan benda itu ke dalam plastik hitam. Sehun pun berlalu dari kamar, dan melewati Lay yang sedang sibuk memasak supermi.

***

Novena menghentikan acara membaca bukunya saat melihat siluet laki-laki datang mendekat ke arahnya.
"Gak pulang? Ditungguin juga dari tadi."

Novena mendengus dan kemudian menggeleng. "Enggak. Malas gue."

"Malas kenapa?"

Novena tidak menyahut. Dia menutup novelnya dan menjulurkan tangan kanannya. "Mana?"

Laki-laki itu menatapnya bingung. "Apanya yang mana?"

Novena mendecak. "Janji lo."

Laki-laki itu tetap tidak mengerti apa yang sedang Novena bicarakan. "Apa sih? Gue gak paham lo lagi bahas apa."

Novena memutar bola mata malas. "Beng-beng yang lo janjiin mana? Katanya setiap lo ketemu gue, dikasi beng-beng."

Barulah laki-laki itu tertawa. "Ah, iya. Gue lupa. Kalo permen kaki mau gak? Gue bawa itu doang."

Novena mendengus namun setelahnya mengangguk. Laki-laki itu pun memberikan permen kaki merah untuk Novena, dan permen kaki biru untuknya sendiri.

"Besok-besok permen kaki gak diterima lagi. Yang sah itu cuma beng-beng. Ingat."

Laki-laki itu mengangguk. "Iya. Setelah ini lo pulang gak? Kalo iya kita barengan."

Novena melirik jam di ponselnya. "Masih jam empat. Gue belum mau pulang. Dikit lagi kelar ini novelnya."

Laki-laki itu mengangguk. "Gue temenin deh."

"Terserah lo aja. Kalo sanggup gak papa."

"Sanggup kok."

Setelah itu tidak ada yang berbicara di antara ke duanya. Sampai pada akhirnya Novena yang lebih dulu mengajak Kris Taipan Yukhi berbincang. "Masalah yang kemaren gimana Kris? Udah kelar?" tanyanya sembari melipat kertas sebagai pembatas halaman novelnya.

Kris mengangguk. "Udah kok. Semalam Mami gak ke mana-mana. Jadi gue bisa istirahat dengan tenang."

Novena mengangguk paham. "Tapi kantung mata lo masih kelihatan banget Kris. Lo masih butuh banyak tidur. Selama enam bulan ini, mungkin waktu tidur lo itu terhitung cuma sekitar dua bulan. Dan empat bulan sisanya ngurus hal yang gak perlu lo urus." Novena menatap Kris, laki-laki keturunan Korea-Tionghoa itu prihatin.

Kris terkekeh. "Gue gak papa kok. Baik-baik aja. Gue rela ngelakuin hal yang gak pernah dianggap ini. Dengan gue peduli, itu artinya gue gak menyia-nyiakan kesempatan. Gue gak mau nyesal pada akhirnya."

Novena tersenyum sendu mendengar perkataan laki-laki itu. "Awas aja nasib lo sama kayak gue. Selalu bertahan karena yakin suatu saat bakal dilirik. Nyatanya, sampai gue nyerahin semua yang gue punya, gue justru gak dianggap. Awas aja kalo lo ujung-ujungnya jadi manusia menyedihkan kayak gue. Gue gak mau itu terjadi. Gak boleh ada yang ke dua. Karena gue tau sakitnya gimana."

Kris menggenggam tangan kecil Novena. Mengusapnya lembut. Dia paham sekali apa yang Novena rasakan. "Trid, dengerin gue. Jangan ingat masa lalu lagi. Lihat ke depan dengan baik. Masa depan masih panjang di sana. Lo masih harus kuliah, kerja keras, bangun rumah, cari suami, dan masih banyak hal lainnya lagi. Soal masa lalu, mending lo lupain. Gue janji gak bakal terluka. Gue janji sama lo."

Novena menghela napas. Kemudian mengangguk. "Hm."

Kris membawa Novena ke dalam pelukannya. "Udah jam setengah enam. Kita balik ya?"

Novena mengangguk. "Iya."

Lalu keduanya pun berjalan beriringan. Saling berbagi cerita tentang hari ini. Tentang mereka yang sama-sama terluka. Tentang mereka yang sama-sama ingin lepas dari derita.

Mereka adalah--Kris Taipan Yukhi dan Astrid Loviani Valeria- yang mereka kenal sebagai Novena Litane Agape.

***

Sehun berdiri dengan santai di depan super market tempat dia menurunkan Novena seperti biasa. Perempuan itu selalu bersikeras diturunkan di sini. Jika Sehun tidak mau dan memaksa Novena untuk memberitahukan alamat rumahnya, maka yang akan Sehun dapat adalah pertengkaran hebat.

Sehun menenteng plastik hitam di tangan kirinya, sementara tangan kanannya sibuk berselancar di ponselnya.

"Novena ke mana sih? Udah dua jam gue tungguin tapi gak lewat-lewat." Sehun menggerutu kesal. Rencananya adalah saat Sehun memberikan benda pink di dalam plastik, dia akan memulai acara meminta maafnya. Jika perlu dia akan memaksa Novena menerima permintaan maafnya dengan mengancam perempuan itu bahwa Sehun akan menyebarkan benda pink itu ke sekolahnya.

Ya, walau pun Novena tahu bahwa Sehun tidak akan mungkin melakukan itu. Ayolah. Mana rela Sehun, orang lain tahu berapa ukuran dada seorang Novena. Cukup Sehun sendiri saja yang tahu.

Sehun mengusap wajahnya kasar. "Ven, lo ke mana sih?!"

Sehun berusaha sabar. Terus berdiri seperti orang bodoh. Bahkan penjaga super market saja mengiranya pencuri karena tak kunjung pergi dari sana.

Dan Sehun hanya bisa menghela napas kecewa saat Novena tidak kunjung datang. Sudah pukul delapan malam. Artinya sudah berjam-jam Sehun menunggu perempuan itu.

Pesannya pun tidak kunjung dibalas. Ketika di telepon sedang sibuk. Sehun mendecak. Menatap kembali plastik di tangannya. "Ini semua gara-gara lo! Coba aja si Lay gak ketemu lo, gak bakal gue datang ke sini nungguin nenek lampir itu sampe berjam-jam!"

Tidak ada cara lain selain pulang kembali ke rumah. Bahaya jika hanya ada Lay. Bisa-bisa semua barang di rumahnya dibongkar untuk dibersihkan. Lay sangat membenci sesuatu yang jorok.

Langkahnya pun menyusuri malam yang cukup dingin. Kepergian Sehun bukan hanya karena kakinya pegal berdiri di sana. Tapi untuk memberikan ketenangan pada penjaga super market. Setidaknya Sehun dapat pahala dengan beranjak lebih cepat dari sana.

***

N E X T

NOVENA | OSHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang