Rahasia

8 1 0
                                    


Mata bulat itu mengerjap, tangannya terulur mengucek matanya yang kian sayu. Menutup lalu terbuka, beberapa menit lagi bel pulang dibunyikan. Namun, cewe itu terlihat hampir kehilangan kesadarannya.

Cuaca mendung seperti ini membuat Arin tak mampu menahan kantuknya, ia samar-samar mendengar suara guru didepan mengajar. Wajahnya menghadap jendela luar, angin terlihat masuk melewati ventilasi jendela kelas. Menghampiri wajah Arin, membelai lembut. Suhu disekitar gadis itupun menurun, ia benar-benar tidak bisa menahannya lagi.

Tangan itu melipat diatas meja dengan ditumpuk kepala gadis itu, ia terlelap dengan damai. Suara gerimis hujan mulai turun, angin hujanpun menimpa kaca-kaca kelas dan bau hujan yang khas itupun menjadi aroma paling menenangkan yang pernah ada. Arin semakin merasakan hangat dibagian tubuhnya yang menggigil.

Sementara guru yang didepan memberi salam untuk pelajaran terakhir, tidak terlalu memperhatikan murid-murid kelasnya. Ia berlalu keluar saat bel lonceng itu berbunyi. Arin masih tetap pada mimpinya, semua murid berbisik sepakat untuk meninggalkan cewe galak ini sendirian di kelas, semua keluar dengan keadaan sunyi dan senyap.

Dilain tempat Rangga bergegas menuju kelas Arin, ia menyampirkan tasnya kesamping bahu kananya, bersiul rendah dengan menggunakan headset di kedua telinganya. Beberapa orang menyapa kehadirannya, ia hanya membalas dengan senyum tipis.

Rangga telah sampai didepan pintu kelas Arin yang tertutup, ia melihat jendela yang bahkan tertutup gorden, cowok itu mengernyit heran, melirik sekitarannya tidak nampak Arin. Kemudian ia membuka handle pintu dengan penasaran, takut bahwa didalam masih menyisakan orang.

Matanya membulat melihat gadis itu terlelap dengan tangan melipat sebagai bantalannya, pikirannya melayang.

Jadi dari tadi dia ga ada yang bangunin? Kok pada ninggalin Arin disini si? Jahat banget..

Cowo itu bergegas menghampiri, dengan tangan menyentuh lengan Arin, gadis itu nampaknya sangat lelah setelah aktivitas seharian, mulutnya menggumamkan sesuatu tidak jelas. Rangga mengacak pelan rambut Arin dan segera menggendongnya. Tapi belum ada beberapa detik mata Arin terbuka lebar, ia terkejut mendapati tubuhnya melayang. Segera ia melompat dan bertubrukan manis dengan lantai, mulutnya meringis sakit dan menoleh kesamping.

"Apa? Lo yang tiba-tiba loncat." Rangga ikut jongkok mensejajarkan langkah. Tangan Arin menyabar lengannya lalu mencubitnya keras, "begooo bukannya bangunin gue aja, gimana ga kagettt!! Dasar Rangga begoo awas lo ya!!" Cewe itu berdiri sendiri dengan muka ditekuk sebal, dirinya menghentak-hentakan kakinya keluar kelas meninggalkan barang-barangnya dimeja.

Rangga hanya menyengir lebar sembari membereskan semua bawaan Arin, kemudian menyusul langkah cewe galak itu.

~~~

Arin mendecak sebal dirinya sudah kedinginan dengan hujan yang deras, anginpun semakin membawa buliran buliran hujan kehadapan mukanya, disebelahnya Rangga sibuk mencari jaket untuk dikenakan, "Rin lo bawa jaket ga? Gue soalnya ga bawa mobil nih, ga bawa jas hujan juga." Ia melirik sekilas.

Arin menoleh dengan tatapan sebal,"mana pernah gue bawa jaket si, lagian tadi tuh hawanya panas sekarang pas pulang malah hujan gede! Ahh sebel, lo juga ga bawa jas hujan si." Arin semakin cemberut. Rangga kemudian berdiri, melihatnya cewe itu menoleh cepat.

"Mau ngapain?"

"Ambil sweater gue di kelas ketinggalan, lo jangan kemana-mana nanti diculik setan susah gue carinya."

"Kurang ajar lo nyet, pergi sana!"

"Iya pendek tungguin gue ya." Sambil berlari menuju kelasnya dilantai atas, Arin meneriakan nama Rangga keras-keras, enak saja dirinya dikatain pendek. Dianya aja yang ketinggian lagian punya badan kayak tiang listrik.

Langkah kakinya yang lebar menuruni tangga dengan hati-hati, lantai ini sangat licin karna terkena cipratan air hujan. Ia melirik sekilas saat kertas tertempel didinding itu menyita perhatiannya. Ia menyipitkan matanya membaca serius, apa-apan ini pikir Rangga. Dirinya kemudian teringat sticy note tosca yang tadi pagi ia ambil dibuku sampul Arin, kemudian tangan itu merogoh saku celananya memastikan kertas itu ada. Dirinya membaca sekilas kertas itu kemudian berfikir sejenak.

"Arin kok ga cerita ya sama gue ..." Rangga menuruni tangga dengan berbagai pikiran berkecamuk dikepalanya. Cewe agresif itu ternyata menyimpan semuanya sendirian. Sampai Rangga benar-benar tidak tahu harus melakukan apa agar cewe itu terbuka untuk masalahnya sendiri.

"Woi! Rangga itu mumpung hujannya mereda kita buru-buru pulang yok! Ayooo Ranggaaaa!" Arin menarik lengan cowo itu keparkiran, terlalu sibuk untuk memperhatikan mimik wajah Rangga yang kian pias.

"Rangga!" Teriaknya sekali lagi, mengembalikan kesadaran cowo itu ke dunia nyata. Ia menoleh sekilas tersenyum tipis, mengacak rambut cewe itu kemudian menghidupkan motornya. Tangannya yang lain mengambil sweater untuk dipasang dibadan Arin, cewe itu merimanya cepat.

Ia kemudian duduk dan mereka melesat pergi dari lapangan sekolah.

"Arin itu harusnya mati aja.." suara itu rendah bersamaan dengan anggukan setuju yang lainnya.

~~~

Rangga berhenti tepat didepan rumah Arin, cewe itu turun dengan cepat membuka gerbang rumahnya. Mempersilahkan Rangga memakirkan motornya, ia berlari kecil membuka pintu utama. Dengan segera ia masuk meninggalkan Rangga digarasi parkiran. Cowo itu melamun sesaat, kemudian berfikir untuk tidak melakukan apa-apa dulu didepan Arin, takut nanti kalau cewe itu bertindak gegabah seperti 3 tahun yang lalu.

Ia melangkah mengikuti jejak-jejak sepatu Arin, tersenyum tipis saat membayangkan bahwa cewe itu akan mengomel karna ia berjalan lama.

"Arinnnnnn ambilin gue handukkkk!!" Teriak Rangga dari bawah, terdengar langkah berlarian menuruni tangga. Arin melempar handuk hijau itu kewajah Rangga, kemudian dirinya melesat lagi. Ingin segera mandi dan berganti pakaian, Rangga masuk kekamar tamu dilantai satu, melakukan hal yang sama kayak cewe itu, mandi dan berganti baju.

Sedekat ini hubungannya dengan Arin, tapi tidak satupun rahasia Arin ia ketahui, ia terlalu rumit, terlalu sulit untuk dibuka. Seperti puzzle yang kepingannya menghilang, Arin itu benar-benar membingungkan. Cewe itu terlalu puruk dalam masa lalunya, membuatnya menjadi seperti pribadi yang cerewet tapi misterius, tingkahnya selalu saja bikin orang jengkel, suaranya yang cempreng membuatnya terlihat normal dimata orang-orang.

Padahal mereka semua terlalu buta untuk melihat binar matanya.

Binar itu telah punah.

Semenjak itulah Rangga selalu overprotective terhadap tingkah laku cewe itu, karna ia tak mau kehilangan Arin untuk kedua kalinya. Ia akan menggengam Arin sekuat mungkin agar setidaknya Arin masih memiliki kehidupan yang panjang.

Ia mematikan air shower mengambil handuk yang tergantung, keluar menuju walk in closet, dirinya mengambil kaos hitam yang memang tersimpan dilemari sana, Rangga sangat sering menginap dirumah besar itu, rumah yang harusnya hangat namun tak pernah ia rasakan walau cuman sebentar. Dirinya semakin dipeluk oleh kesakitan yang nyata. Terasa sesak pun gelap.

Ini yang Arin rasakan, tapi tak pernah ia tunjukan.

"Arinn ... gue bener-bener ga mau kehilangan lo, gue takut Rin.."

Rangga mengirup napas mencari oksigen disekitarannya, dirinya gemetar membayangkan masa lalu Arin 3 tahun yang lalu, semua terasa berat sekarang. Masa lalu itu ingin mencari permukaan, ia ingin muncul lagi dan membawa Arin bersama seluruh kesakitannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ARINGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang