Aku bernama Gabriella Greeny. Aku lahir pada hari Kamis, tanggal 11 Juli 1991. Tepat pada saat gerhana matahari total. Menurut kepercayaan, anak yang lahir saat gerhana matahari total tidak akan lahir sempurna. Tapi mungkin aku adalah pengecualian. Atau mungkin memang mitos tak pernah nyata. Itulah alasan mengapa aku tak pernah mempercayai mitos. Sedikitpun!
Aku lahir dan tinggal di sebuah kota kecil bernama Soulgate. Kota yang hijau, basah, dingin, dan penuh misteri. Mitos, legenda, kepercayaan, pantangan, dan hal-hal yang berbau magis masih dianut oleh masyarakat Soulgate. Kecuali aku.
Pagi ini aku pergi ke sekolah, Golden School. Satu-satunya sekolah yang ada di Soulgate. Aku mengenakan seragam berwarna putih dengan rok rempel nila pendek. Seragam ini untuk tingkat 6 di Golden School.
Golden School terbagi menjadi 7 tingkat. Tingkat 1 untuk tahun pertama dengan seragam putih-merah. Untuk tingkat 2, tahun kedua-ketiga berseragam putih-jingga. Tingkat 3, tahun keempat-kelima berseragam putih-kuning. Untuk tingkat 4 pada tahun keenam-ketujuh berseragam putih-hijau. Tingkat 5 pada tahun kedelapan-kesembilan berseragam putih-biru. Tingkat 6 tahun kesepuluh-kesebelas berseragam putih-nila. Dan terakhir, tingkat 7 tahun keduabelas berseragam putih-ungu. Yah, itu adalah urutan warna pelangi. Aku tak tahu mengapa Golden School memilih warna pelangi untuk seragamnya. Aku yakin banyak sekali murid Golden School yang belum pernah melihat pelangi secara langsung. Aku saja belum pernah melihatnya. Aku baru melihat di buku dan deskripsi para guru di sekolah. Terang saja, karena Soulgate tak pernah terjamah hangatnya sinar mentari. Iklim di Soulgate benar-benar ekstrim. Aku belum bisa menemukan alasan mengapa matahari tak mau membagi sinarnya untuk Soulgate. Tapi untungnya rakyat Soulgate tak pernah protes. Karena kulit mereka memang tercipta untuk tak menerima sinar mentari. Satu-satunya yang akan protes adalah aku. Karena kulitku tak seperti mereka. Sepertinya kulitku yang sedikit coklat ini akan bersahabat dengan matahari.
Rumahku berjarak 2 mil ke sekolah. Aku akan senang jika hujan tak turun karena aku selalu sial jika bertemu hujan. Ini bukan mitos, karena rakyat Soulgate akan senang bila turun hujan. Lagi-lagi aku adalah pengecualian dari Soulgate. Mungkin sebenarnya aku tidak ditakdirkan untuk tinggal di Soulgate.
Aku keluar rumah dan melihat ke arah barat, ke arah Golden School. Disana sangat gelap. Awan mendung tak mau beranjak dari barat. Titik-titik air jatuh dari langit. Lalu aku melihat ke arah timur, sangat cerah. Aku iri dengan rakyat timur. Aku memang belum pernah bertemu mereka tapi aku memiliki firasat kalau mereka hidup bahagia di bawah sinar matahari.
Oh tidak! Ini adalah waktunya aku pergi ke Golden School dan aku benci ini. Aku tak pernah bersemangat ke sekolah jika langit benar-benar gelap seperti hari ini. Aku mengenakan jas hujan biru muda yang menutupi seluruh tubuhku. Lalu aku mengeluarkan sepeda putihku. Yah, sepeda ini ku beli dengan uang tabunganku sendiri. Karena uang peninggalan ayah dan ibu itu untuk kebutuhanku yang lain. Uang itu mereka simpan di Piper Bank. Rakyat Soulgate menyimpan uang mereka disana. Untuk hal ini aku termasuk pengecualian lagi. Aku tak membuat akun atas namaku sendiri disana. Itu adalah akun orang tuaku. Yah, aku tak mau repot-repot membuat akun untuk namaku.
Sepedaku melesat cepat ke barat yang semakin gelap. Dua puluh menit kemudian aku sampai di Golden School. Aku memarkir sepedaku di deretan paling belakang di bawah pohon besar. Rupanya aku sedikit terlambat. Aku membuka jas hujanku melipatnya lalu memasukkannya kedalam kotak yang berada didepan pegangan sepedaku. Aku mengeluarkan jaket putih terlebih dahulu lalu memakainya. Membawa tas biru muda lalu berlari kecil menuju area sekolah.
Di depanku berdiri tiga bangunan besar dan megah membentuk huruf U. Bangunan utama terdiri dari empat lantai. Lantai satu untuk para guru dan staff, lantai dua untuk murid tingkat satu. Lantai tiga untuk murid tingkat enam dan lantai empat untuk murid tingkat tujuh. Bangunan sisi sebelah kiri dan kanan masing-masing terdiri dari dua tingkat. Lantai satu pada bangunan sayap kanan untuk murid tingkat dua. Sedangkan lantai dua untuk murid tingkat empat. Untuk bangunan sayap kiri, lantai satu untuk murid tingkat tiga dan lantai dua untuk murid tingkat lima. Bangunan itu bergaya Italia. Berwarna krem dengan dinding penuh dengan jendela. Antara jendela satu dengan yang lainnya hanya berjarak 30 cm saja. Tapi sepertinya lebih cocok jika disebut sebagai lorong yang berukuran sama dengan pintu, bukan jendela. Benar-benar megah. Di tengah area sekolah adalah lahan rumput yang hijau terbuka. Di tengah lahan rumput terdapat air mancur yang indah. Tapi, tetap saja jika hujan semua menjadi tak indah.
Aku menuju bangunan megah itu dengan setengah berlari. Aku memasuki bangunan itu dan langsung menuju lantai tiga menggunakan lift. Aku melihat murid-murid berlalu-lalang dimana-mana. Di tengah lantai dasar terdapat menara jam raksasa. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 06.50. Sepuluh menit sebelum pintu kelas ditutup. Setelah sampai di lantai 3, aku segera masuk ke kelas kimia.
"Hey, Gabriella! Lagi-lagi Kau terlambat!"
"Ah, Lucy! Bukankah Kau tahu aku benci hujan?" Lucy menghampiriku dan merangkul pundakku.
"Gabriella, ini Soulgate! Kau tahu?" dia membawaku ke meja paling depan.
"Lucy, aku adalah pe-nge-cu-a-li-an!" aku menatapnya tajam dan mengatakan kata itu dengan penuh tekanan.
"Ah, oke! Aku kalah lagi!" dia ketakutan tapi tersenyum.
"Hahaha! Kau ini!"
Lucy adalah teman terbaikku. Kami selalu memiliki kelas yang sama dari mulai tingkat 1. Dia selalu ada untukku. Tapi dia selalu mencoba membuatku menyukai hujan padahal dia tahu itu tak akan berhasil. Percobaannya selama ini sia-sia dan belum menghasilkan perubahan.
Lucy memiliki kulit yang putih mulus bahkan nyaris transparan. Rambutnya pirang, lurus dan panjang. Terkadang aku minder bila berada didekatnya. Dia cantik. Sedangkan aku, aku hanya seorang gadis sederhana dengan rambut coklat bergelombang tak beraturan sepunggung. Aku juga kalah tinggi dengannya. Jika ia memakai seragam, begitu indah dipandang. Sedangkan aku, bentuk tubuhku tidak begitu indah.
Pernah suatu hari saat aku tingkat 4, aku berjalan bersama Lucy melewati kelas tingkat 3 saat jam istirahat. Lalu ada seorang anak laki-laki yang gemuk murid tingkat 3 junior¾berarti tahun keempat¾sedang duduk di depan kelasnya. Anak laki-laki gemuk yang setahuku bernama Andy itu berteriak dengan lantang, "Hei, Nona cantik! Apa kau tidak malu berjalan bersama orang aneh berkulit coklat itu? Hati-hati, dia bisa membawa sial," aku tahu ia berkata pada Lucy. Aku sedikit tersinggung karena ucapan anak itu. Tapi Lucy menghampirinya dan berkata, "Hei, Anak kecil! Apa kau tidak malu membawa tubuhmu yang seperti babi itu?" Aku melihat Lucy berbalik ke arahku dan anak kecil itu mengumpat. Sejak kejadian itu aku tak mau lagi berjalan ke kelas lain.
Jam pertama dimulai dan Prof. Tann mulai memasuki kelas. Aku tak begitu memperhatikan ketika Prof. Tann memasuki kelas. Aku masih sibuk dengan pena ku yang sedikit bermasalah. Tintanya tak mau keluar.
"Shit!" ujarku kesal.
"Ada apa, Gab?" tanya Lucy.
"Pena ku terkena air hujan dan tintanya macet tak mau keluar," bisikku takut ketahuan Prof. Tann.
"Oh, Gabriella yang malang ..." bisik Lucy.
"Kini kau percaya? Hujan membuatku sial!" ujarku.
Aku kesal dengan pena ku dan mengocok-ngocoknya. Tepat saat itu tintanya menghambur keluar dan ternyata mengenai seorang laki-laki yang berdiri di samping mejaku.
"Upss! Sorry!" ujarku.
Saat aku melihat wajah laki-laki itu, aku terpesona. Wajahnya putih tapi tidak pucat dan tidak transparan. Matanya berwarna kuning keemasan dan sangat tajam. Rambutnya yang berwarna keemasan dibiarkan acak-acakan namun terkesan begitu indah sebagai mahkota kepalanya. Hidungnya ramping mancung dan agak bengkok. Bibirnya sangat indah dan saat itu aku baru sadar ternyata ia memamerkan deretan gigi putih bersih dengan senyumnya yang menawan. Aku melihat sebercak noda tinta hitam pada seragam putihnya yang bersih dan tampak baru. Jelas sekali itu adalah tinta penaku.
"Ada masalah apa, Miss Greeny?" Prof. Tann menghampiri mejaku dan mengecek apa yang terjadi. Saat itu aku sadar seisi kelas memperhatikan aku.
"M ...maaf. A ...aku tidak sengaja, Sir. T ...tadi p ...penaku ..."
"Sudah, tidak apa-apa. Ini hanya noda pena. Anggap saja ini tanda perkenalan kita," laki-laki itu tersenyum dengan sangat indah. Itu menandakan sebuah ketulusan. Aku pun hanya bisa tersenyum malu atas perbuatanku. Rupanya ia murid baru di sekolah ini. Pantas saja aku asing melihatnya.
"Baiklah, Mr. Penzensky, kita bisa memulai pelajaran sekarang," kata Prof. Tann.
"Ya, Profesor," jawab laki-laki itu.
"Sekali lagi aku minta maaf ..." ujarku padanya. Dia hanya tersenyum dan menuju mejanya sendiri di belakangku.
YOU ARE READING
SOULGATE
FantasyHidup di Kota Soulgate membuatku muak dengan segala mitosnya. Aku tak percaya mitos-mitos itu. Bukan tak beralasan, bahkan aku terlahir pun dengan menentang mitos.