"Om, Raka sama Muti mau ngomong."
Raka tak pernah setegang ini sebelumnya, jantungnya berdegup sangat kencang. Butiran-butiran keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Laki-laki itu tahu betul harus mempertanggungjawabkan kesalahan yang ia lakukan. Raka tidak takut bagaimana ia akan menjalaninya nanti, walaupun laki-laki yang belum genap berusia delapan belas tahun itu tidak punya pandangan bagaimana kehidupan berumahtangga diusia yang masih belia.
Namun saat ini keyakinan Raka adalah menikahi Muti dan mempertanggungjawabkan kesalahan mereka berdua. Raka tidak akan membiarkan Muti menanggung ini semua sendirian.
Tidak kalah gugupnya dengan Raka, Muti sendiripun sangat takut menghadapi kedua orangtuanya jika mengetahui apa yang sudah terjadi. Perasaan Muti sangat hancur, mengingat dirinyalah satu-satunya harapan bagi kedua orangtuanya ini. Pasti perasaan Ibu dan Ayah juga akan sangat hancur jika tahu kalau dirinya saat ini sedang mengandung. Bahkan Muti sudah frustrasi memikirkan bagaimana nanti menanggapi pertanyaan dari keluarga besar dan orang-orang disekitarnya. Tidak hanya dirinya yang malu dan menjadi bahan cibiran, tapi Ibu dan Ayahnya juga.
"Kalian mau ngomong apa ? Kok kelihatannya serius banget." Farhan melipat koran yang ia baca dan meletakkannya diatas meja sebelum Rahayu datang dan duduk disampingnya.
Raka dan Muti saat ini sudah duduk diatas sofa menghadap Farhan dan Rahayu, Ayah dan Ibu Muti. Bagaimanapun Raka sudah siap dengan apapun reaksi yang akan ia dapat dari kedua orangtua Muti.
"Tapi sebelumnya Raka mau minta maaf sama Om dan Tante." Raka menjeda kalimatnya, kembali meyakinkan dirinya sendiri dan menoleh sebentar kearah Muti yang duduk sebelahnya. Gadis itu sedari tadi menarik-narik ujung kaosnya. Raka tahu Muti juga tak kalah gugup dengan dirinya. Maka dengan menggenggam tangan Muti, Raka kembali yakin dengan langkah yang akan ditempuhnya ini.
Raka turun dari sofa dan bersimpuh dihadapan kedua orang tua Muti, melihat kejadian itu tentu saja membuat kedua orangtua Muti bingung. Apalagi melihat anak semata wayangnya yang kini ikut bersimpuh dihadapan mereka sambil menangis.
"Kalo Om sama Tante mau pukul Raka gakpapa, mau marahin atau maki-maki Raka juga gakpapa Om." Raka memberanikan diri menatap Farhan. "Tapi jangan marahin Muti, kalo Om kecewa Om bisa lampiasin ke Raka aja Om, Raka minta maaf. Raka janji akan tanggungjawab dan gak akan ninggalin Muti sendirian."
"Tunggu, ini sebenernya ada apa ?" Rahayu semakin panik dan berdiri dari duduknya. Sementara Farhan masih berusaha tenang dan mencoba mengerti dengan situasi yang terjadi.
"Mu –Muti hamil Om."
Mendengar kata-kata yang diucapkan Raka membuat Muti tak kuat menahan air matanya, ia dapat merasakan bagaimana orangtuanya kecewa. Bagaimana dia sudah mematahkan hati orang yang sangat ia cintai. Kecewa itu menyakitkan tapi lebih menyakitkan lagi menjadi penyebab orang yang kita cintai kecewa.
"Maafin Muti Yah. Maafin Muti Bu."
Muti hanya bisa menunduk, ia tidak sanggup melihat bagaimana wajah kedua orangtuanya yang kecewa saat ini. Sementara itu Farhan dan Rahayu masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan Raka dan Muti.
"Kalian ini bercandanya ada-ada aja sih." Rahayu menjeda kalimatnya dan berjalan mendekati putrinya yang saat ini hanya bisa berlindung dibalik punggung Raka. "Muti sini nak, jantung Ibu hampir copot loh ini. Udah ah bercandanya."
Mendengar penuturan Ibunya yang masih tidak percaya membuat hati Muti semakin hancur, pastilah kedua orangtuanya ini tidak mau mempercayai apa yang terjadi padanya dan Raka.
Kedua orangtua Muti bukanlah orangtua yang kaku, mereka tahu jika sudah dua tahun belakangan ini Raka dan Muti menjalin hubungan. Farhan dan Rahayu tidak melarang anaknya menjalin hubungan dengan laki-laki manapun asalkan keduanya bisa saling menjaga. oleh karena itulah Muti semakin merasa bersalah karena tidak bisa menjaga kepercayaan yang diberikan oleh kedua orangtuanya.
YOU ARE READING
ON YOUR ENGAGEMENT DAY
General FictionHari bahagia, Kadang kita, manusia. Suka sok tahu, cepat-cepat menyebutnya "Hari Bahagia" Kita lupa, bahwa takdir dan kenyataan sering bersekongkol untuk memutar balikkan keadaan. Baiklah Mutiara, mari kita sebut saja dulu hari ini adalah hari bahag...