"Yang masih jomlo, ayo ngumpul di depan sini. Enggak usah malu." Suara MC di depan sana menggema ke seantero ruangan. Gelak tawa dari para hadirin membuat suasana semakin riuh.
"Za, buruan! Namira mau lempar bunga!"
Seseorang tiba-tiba menarik tangan Zalina. Dia mengerang saat sesendok es krim coklat jatuh di atas gaun satin berwarna hijau pastel yang dia kenakan malam ini. Seketika dia melotot.
Kalila—gadis yang tadi menarik tangannya— tersenyum dengan wajah tanpa dosa.
"Sssttt! Ada yang lebih penting ketimbang noda di baju kamu," ujarnya, sebelum Zalina sempat membuka mulut untuk mengomel. "Kita enggak boleh ketinggalan momen ini."
Zalina menghela napas panjang dan mengikutinya. Langkah mereka terhenti di depan pelaminan yang telah dipenuhi puluhan gadis lainnya.
"Tuh kan, kamu kelamaan sih. Udah banyak saingan nih kita," gerutu Kalila.
"Yaelah... Ngebet amat pengen dapat bunga. Udah pengen banget nikah ya?" goda Zalina.
Kalila memutar kedua bola mata. "Bukan aku, tapi kamu. Kan kamu yang udah ngebet pengen dilamar Bintang," ujarnya. "Aku cuma mau bantu." Gadis itu mengerling.
Zalina mengerucutkan bibir. Mendengar nama Bintang disebut, rasa rindu kepada lelaki yang saat ini sedang bertugas ke Lebanon sebagai pasukan perdamaian itu semakin membuncah.
Ah, seandainya pun berhasil menangkap bunga itu, Zalina tidak yakin Bintang akan tergerak untuk melamar secepatnya. Mereka sudah jadian selama sepuluh tahun, sejak masih sama-sama berseragam putih abu-abu. Iya, sepuluh tahun. Seandainya kredit rumah, seharusnya sekarang tanggungan mereka sudah lunas.
Sayang, meski sepuluh tahun telah mereka lewati sebagai sepasang kekasih, belum pernah sekali pun Bintang membahas soal pernikahan. Zalina paham. Bagi Bintang, pengabdian adalah yang utama. Sedangkan Zalina? Entahlah, dia berada di urutan ke berapa dalam daftar prioritas lelaki itu. Kadang Zalina bingung, bagaimana bisa dia bertahan selama sepuluh tahun tanpa kepastian? Padahal dia juga sadar bahwa saingannya tidak main-main. Zalina seringkali harus berebut perhatian dengan cinta pertama kekasihnya itu : tanah air, nusa bangsa, dan negara.
"Eh, sorry."
Lamunannya buyar saat seseorang tidak sengaja menyenggol.
"Enggak apa-apa," balasnya.
Sejenak, matanya bersirobok dengan manik mata Namira yang tengah menjadi ratu malam ini. Zalina tersenyum, menempelkan ujung telapak tanganku ke bibir, kemudian melemparkan kecupan jauh kepadanya. Dari atas pelaminan, Namira membalas dengan menyilangkan ujung telunjuk dan ibu jarinya, membentuk simbol cinta ala drama Korea.
"Siap-siap ya, sebentar lagi mempelai wanita bakal ngelemparin buket bunganya. Kira-kira, siapa ya, yang beruntung mendapatkannya?" MC di depan kembali buka suara.
Kalila tampak bersemangat. Dia menarik Zalina menerobos kerumunan dan bersiap di barisan depan. "Di sini aja," ujarnya, tanpa memedulikan tatapan kesal para gadis yang tidak sengaja terinjak atau tersenggol.
"Siap-siap yaaa. Satu ... dua ... ti ...." Namira sudah mengambil posisi, sementara sang MC sibuk memberi aba-aba. Riuh suasana semakin menjadi. Ditambah alunan musik yang menggema dari speaker ruangan.
"Ti ... ga!"
Namira yang berdiri membelakangi para gadis, sedikit membungkuk, hendak melemparkan buketnya. Sontak, para gadis bersiap untuk berebut. Namun, gerakan Namira terhenti. Perempuam bergaun putih itu membalikkan badan, menatap mereka yang sedang menunggu di bawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zalina, Tiba-tiba Menikah
RomanceZalina cinta mati kepada Bintang, kekasihnya sejak SMA. Selama sepuluh tahun, dia tidak pernah berpaling. Zalina tetap bertahan, meski selama ini harus berebut perhatian dengan tugas-tugas Bintang sebagai prajurit yang tergabung dalam Kontingen Garu...