Part 4 : Sekeping Hati yang Terlu(k)pa

1.8K 277 15
                                    

"Sayang, bangun, udah hampir subuh."

Surya menggeliat saat suara Zalina terngiang di telinga. Sebelum matanya terbuka sempurna, satu tangannya menyentuh sisi ranjang wanita itu. Ya, seperti kebiasaannya selama ini. Lelaki itu suka menarik sang istri mendekat, memeluknya dari belakang, menghidu aroma tubuh Zalina yang berpadu dengan wangi sampo dan pelembab tubuh yang dia pakai sebelum tidur.

Surya harus menelan pil kecewa ketika tangannya mendapati sisi ranjang Zalina kosong. Butuh beberapa waktu hingga dia menyadari bahwa suara yang tadi dia dengar mungkin hanya khayalannya saja. Surya lupa bahwa kini, Zalina tengah melupakannya.

Lelaki itu segera terbangun dan mengecek kamar mandi. Jantungnya berdetak cepat saat mengetahui bahwa Zalina tidak ada di sana. Tanpa menunggu lama, dia segera melesat keluar dengan perasaan tidak keruan.

Bagaimana jika Zalina kabur? Bagaimana jika Zalina meninggalkannya? Bagaimana jika dia tersesat? Zalina pasti tidak membawa serta ponsel dan dompetnya.

Surya baru saja menyambar kunci mobil di meja, ketika manik matanya menangkap sosok yang dicari tengah bergelung di sofa ruang tengah dengan mata terpejam. Dalam hati, dia berkali-kali mengucapkan rasa syukur.

Perlahan, lelaki itu mendekat. Dia menarik sofa bulat kecil dan duduk di dekat Zalina. Ditatapnya sang istri yang masih tertidur. Seketika, rasa bersalah menyergapnya. Seandainya saat itu dia tidak membiarkan Zalina menyetir sendirian dalam keadaan emosi, mungkin kecelakaan itu tidak akan terjadi. Seandainya dia bersikeras menahan Zalina, mungkin saat ini, wanita itu tidak kehilangan ingatannya. Seandainya saja dia tidak ....

Surya menyugar rambutnya sembari mendesah kecewa. Tidak. Berandai-andai tidak akan mengubah keadaan menjadi lebih baik. Kini dia harus fokus mendampingi wanita itu mendapatkan ingatannya kembali.

🌼🌼🌼

"Pagi, Za. Sudah mandi? Mau kopi?" Lelaki itu berdiri di balik meja dapur. "Aku juga lagi manggang roti tuh. Kamu pasti lapar kan? Semalam kamu enggak makan."

Ragu, Zalina mendekat. Aroma kopi dan roti yang sedang dipanggang menggelitik hidungnya. Dia mengamati dapur yang mengusung konsep kitchen island tersebut. Deretan kabinet berbentuk letter L memanjang di dinding yang berbatasan langsung dengan halaman belakang. Di tengah ruangan, sebuah meja marmer membentang. Di balik meja itulah Surya berdiri sambil menggenggam secangkir kopi yang masih mengepulkan uap panas. Di depannya, tampak beberapa dokumen dan sebuah pena yang tergeletak begitu saja.

Melihat dapur yang terasa asing itu, seketika, berbagai pertanyaan berkecamuk di kepala Zalina. Apakah dirinya pernah memasak di dapur ini? Apa yang dia masak? Yang terakhir dia ingat, dirinya tidak terlalu mahir untuk urusan dapur.

"Aku enggak suka minum kopi," jawab Zalina kemudian. Wanita itu lantas duduk di kursi bar yang ada di dekat meja. Kini, posisinya berhadapan langsung dengan Surya.

"Oh ya? Tapi setahuku, kamu pecinta kopi. Kita bahkan membeli mesin kopi keluaran terbaru ini karena kamu suka minum kopi untuk menemanimu menulis." Surya tersenyum, dengan ekor mata menunjuk ke arah mesin kopi di meja belakangnya.

Alis Zalina berkerut. "Menulis?"

Surya mengangguk. Lelaki itu meletakkan cangkir kopinya di meja, lalu menatap Zalina. "Kamu penulis sekaligus ilustrator produktif. Beberapa novelmu sudah diangkat ke layar lebar."

"Hah?" Sepasang mata Zalina membelalak. "Aku? Nulis? Sejak kapan?"

"Sejak ...." Surya hendak menjawab, tetapi tiba-tiba dia menggantung kalimatnya saat mengingat sesuatu. "Sejak empat tahun lalu."

Zalina, Tiba-tiba MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang