"Mas, gue mau ngelamar Zalina. Gimana menurut lo?"
Surya mengalihkan pandangan dari layar komputer. Diliriknya sang adik semata wayang yang sedang duduk di sofa ruang kerjanya. Tidak lama, hanya beberapa detik. Kemudian, lelaki itu kembali asyik menekuni deretan angka dan huruf di layar.
"Jadi itu alasan lo tahu-tahu muncul di kantor gue?" Satu sudut bibir Surya terangkat. Sejak kecil, hubungan mereka memang cukup dekat. Jarak usia yang hanya dua tahun dan seringnya menghabiskan waktu bersama karena kedua orang tua mereka sama-sama bekerja, mungkin jadi penyebabnya.
Bintang tertawa kecil. Lelaki itu berdiri, lalu berjalan menuju jendela kaca raksasa di ruangan tersebut. Dia memasukkan satu tangannya ke saku celana, kedua manik matanya menatap pemandangan Jakarta yang sibuk. "Gue butuh pendapat lo."
Mendengar perkataan itu, Surya menghentikan kesibukannya. Dia beranjak dari tempat duduknya dan berdiri di samping Bintang. Selama kurang lebih dua menit, mereka terdiam.
"Lo udah yakin?" tanya Surya memecah keheningan.
Bintang mantap mengangguk. "Dia perempuan spesial. Gue eenggak bisa membayangkan masa depan gue tanpa dia."
Surya melipat kedua tangannya di dada. Pandangannya lurus ke depan, menembus kaca jendela. Jumlah perempuan yang singgah ke dalam hidupnya, jauh lebih banyak dari pada yang singgah dalam kehidupan Bintang. Namun dari sekian banyak perempuan itu, belum ada satu pun yang membuat Surya mantap melanjutkan hingga ke jenjang berikutnya.
"Selama lo sudah mempertimbangkannya matang-matang, ya udah, lamar dia." Surya tahu Bintang bukan orang yang gegabah dalam mengambil keputusan. Jika Bintang sudah terlihat begitu yakin, berarti memang ada sesuatu yang spesial dalam diri Zalina.
Dan, bertahun kemudian, lelaki itu baru memahami bahwa Zalina memang spesial.
🌼🌼🌼
Tok tok tok.
Lamunan Surya buyar. Dia mendongak ke arah pintu ruang kerja. Seorang wanita yang mengenakan blus biru muda dengan aksen lipit di bagian dada, tersenyum kepadanya. Rambut panjangnya yang kecokelatan dengan hint abu-abu, berayun pelan ketika dia mulai melangkah masuk. Aroma wangi parfum menguar hingga indera penciuman Surya, sejak jarak mereka masih tiga meter jauhnya.
"Hai." Tanpa menunggu dipersilakan, wanita itu menarik kursi di depan meja Surya dan mendudukinya. "Kamu menghindariku beberapa hari ini. Kamu enggak balas pesan-pesanku. Kamu juga enggak angkat teleponku."
Surya menganjur napas panjang. Dia menegakkan tubuh dan bersandar pada sandaran kursi. Satu alisnya sedikit terangkat, ekspresi wajahnya terlihat jengah.
"Gimana kabar Zalina? Aku belum nengokin dia." Wanita itu melipat kedua tangannya di atas meja kerja Surya. Dia benar-benar mengabaikan fakta bahwa kehadirannya tidak diharapkan oleh lelaki itu.
"Zalina masih harus istirahat, dia belum bisa ditengok," jawab Surya, dingin.
"Aku benar-benar prihatin soal kecelakaan itu."
"Saskia, come on ...." Surya memijat pangkal hidungnya. Kepalanya terasa pening. "Bisa, enggak? Kita enggak membahas urusan di luar pekerjaan selama di kantor?"
Saskia menggigit bibir bawahnya. Sepasang alisnya yang disikat rapi dan dipoles simetris, tampak melengkung, sama seperti bibirnya. "Kamu masih nyalahin aku soal kecelakaan itu?"
"Saskia, please. Aku lagi enggak pengin ngomongin soal itu." Surya tiba-tiba berdiri. Tidak ada pilihan lain. Dia tahu betapa keras kepalanya Saskia. Lelaki itu segera merapikan dokumen di meja dan memasukkannya ke dalam tas kerja. Setelah itu, dia berjalan meninggalkan ruang kerjanya, dengan Saskia mengikutinya di belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zalina, Tiba-tiba Menikah
RomanceZalina cinta mati kepada Bintang, kekasihnya sejak SMA. Selama sepuluh tahun, dia tidak pernah berpaling. Zalina tetap bertahan, meski selama ini harus berebut perhatian dengan tugas-tugas Bintang sebagai prajurit yang tergabung dalam Kontingen Garu...