Missing Something

334 34 11
                                    

"Saburo...Saburo..."

Ketukan pintu dan suara Ichiro membangunkan Saburo yang masih nyaman tidur di balik selimut. Tangannya meraba-raba mencari ponsel yang diletakkan di atas nakas di samping tempat tidur. Melihat jam yang ditunjukkan di layar ponsel Saburo segera terlonjak dari tempat tidur.

"Uwaa!! Ichi-nii! Minggir!" serunya saat nyaris menabrak Ichiro di depan pintu, bergegas ke kamar mandi.

"Aku dari tadi sudah membangunkanmu." Ichiro menghela nafas panjang.

"Maaf Ichi-nii. Tidak tahu kenapa belakangan aku seperti kurang tidur," ucap Saburo begitu keluar dari kamar mandi dan berjalan ke kamarnya, mengganti baju secepat mungkin.

"Bohong, kau semalaman main game kan," timpal Jiro yang tengah sarapan.

Saburo berhenti memakai gakuran, wajah tampak bingung dengan ucapan Jiro. "Aku tidak main game," balasnya.

"Bohong. Aku dengar suara keyboard dari kamarmu jam dua pagi."

Saburo mengerjapkan mata, tak paham apa yang dimaksudkan Jiro. Dia sudah tidur sejak jam sebelas setelah menyelesaikan semua tugas sekolah dan mematikan komputernya, tidak mungkin ada suara keyboard dari kamarnya jam dua pagi. Siapa juga yang tahu password komputernya dan berlapis sistem keamanan lain yang dia pasang.

"Hantu mungkin," balas Saburo cuek. Dia yakin bukan dia yang membuat suara itu.

"Geh, mana mungkin ada hantu," bantah Jiro dengan wajah pucat.

Saburo menjulurkan lidah.

"Kalian, kalau tidak cepat bisa ketinggalan kereta," Ichiro mengingatkan. "Ini bekalnya. Saburo, onigiri untuk sarapan sudah kubungkus juga."

"Arigatou, Ichi-nii." Diambilnya bekal yang sudah dibungkus itu lalu mengarahkan mata ke arah Ichiro yang seakan mengawasinya. "Ichi-nii? Ada apa? Kalau ada kegiatan mendadak aku sudah janji akan memberitahu kan," ucapnya bingung. Ichiro sudah memberinya cukup banyak kata-kata beberapa hari lalu dan meski tak bernada tinggi tapi kecemasan dan kekecewaan yang dia lihat dan dengar dari kakak pertamanya itu tak ingin dia lihat lagi, apalagi karena kesalahannya.

Jawaban dari Ichiro hanya gelengan kepala, tentu tak menjawab kebingungan Saburo tapi dia harus berangkat ke sekolah sekarang. "Ittekimasu."

"Itterasshai," balas Ichiro. "Jiro, kenapa belum berangkat?" tambahnya pada Jiro yang masih belum beranjak dari tempatnya berdiri. "Saburo lagi?" Wajah adik pertamanya itu sudah memberitahu apa yang ingin dibicarakan.

"Aku tidak sebodoh itu sampai tidak sadar perubahan Saburo belakangan ini," kata Jiro cemas.

"Aku tahu. Sekarang ini kita hanya bisa berharap tak akan memburuk." Ichiro mengeluarkan helaan nafas.

"Tapi kalau tidak?"

Memiliki pemikiran positif memang tak salah tapi ada kalanya seseorang harus mempersiapkan yang terburuk.

Tangan Ichiro terkepal erat. "Tidak akan kumaafkan mereka yang sudah melakukan sesuatu pada Saburo." Manik dwi warnanya menunjukkan dia tak bermain-main dengan ucapannya.

-----------------

Kedua tangan Saburo diangkat tinggi ke udara, meregangkan badan setelah seharian duduk di bangku kelas. Hari ini tidak ada kegiatan klub dan tidak seperti Jiro, dia tidak memiliki teman yang sering mengajaknya bermain di pusat keramaian Ikebukuro. Tidak ada yang ingin dia beli, pekerjaan rumah yang diberikan juga tidak sulit hingga dia harus ke perpustakaan, mungkin dia pulang saja. Seharian ini juga rasa kantuknya nyaris tak bisa ditahan padahal tidurnya cukup.

Dies IraeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang