Kala perpisahan itu tak dapat di tawar lagi datangnya, aku hanya mengulas senyum pertanda aku tak menyesal sekalipun mengenal laki-laki yang bernama Muhammad Adnan.
Kehadirannya memang tak melulu, namun hatiku selalu diburu rindu saat sewaktu-waktu tak bisa bertemu.
Apakah kau juga merasakan itu Adnan?
Dulu aku tampak tak tahu malu karena selalu berucap rindu walau hanya lewat pesan singkat di aplikasi hijau itu.
"Adnan, aku selalu rindu, kapan kita bertemu? Apa kau juga merasakan hal sama sepertiku?"
Begitu pesanku waktu itu.
"Aku juga Billa."
Masih membekas di ingatan, saat itu usai Ujian Nasional, dan kita tak bisa dipertemukan lagi di sekolah seperti sebelumnya.
Kita juga sudah tak sehangat dulu, seperti saat kau memutuskan untuk memulai kata kita diantara aku dan kau, Adnan.
Pesan panjangku hanya kau balas dengan tiga kata hampa makna.
Hah. Sebenarnya awal rencanaku menulis kisah ini, hanya akan menceritakan yang manis-manis bersama Adnan yang lebih manis.
Tapi tak apa, justru sedikit percikan pahit mampu membuat rasa menjadi berkali lipat bermakna.
Namun untuk perkenalan agar kau juga ikut jatuh cinta pada sosok Adnanku, aku akan menggali lagi memori masa silam yang tak akan habis jika kutulis.
Saat dimana aku menyadari bahwa Adnan tak lagi teman biasa bagiku.
Itu karena rasa untuknya perlahan tumbuh semakin kukuh seiring berjalannya sang waktu.
"Sudah mau pulang?" tanya Adnan saat aku melewati ruang kelasnya.
Aku tersenyum pada beberapa teman yang menyapaku lalu beralih pada Adnan,"Sudah. Kau sendiri?"
"Aku menunggu teman."
Kubalas jawaban Adnan dengan senyuman kemudian berlalu dari hadapannya.
"Billaa... Adnan ingin mengantarmu,"
Aku berbalik dan mendapatkan Melodi yang berteriak penuh goda padaku.
Kulirik Adnan tampak malu-malu dan menatap Melodi seolah berkata 'Awas kau Melodi' yang tengah berdiri disampingnya.
"Tapi tadi Adnan bilang dia sedang menunggu temannya?"
"Billa macam tidak tahu Adnan saja. Dia sudah menunggu lama loh Bil,"
Melodi menggoda lagi, tentu korbannya adalah Adnan, karena aku memang tak tahu apa-apa soal Adnan yang ingin mengantarku pulang.
"Lemah sekali kau Adnan, aku jadi malu punya kawan kelas sepertimu"
"Sudahlah Adnan, sudah waktunya kau keluar dari zona nyamanmu. Tidak pusing apa setiap hari belajar terus? Sisihkan sedikit waktumu Nan, untuk merasakan dunia penuh cinta." ucap seseorang yang tengah berdiri menopang kaki di sandaran pintu.
Itu kata-kata paling sempurna dari seseorang seperti dia, namanya Sagara. Adnan pernah bilang padaku kalau temannya itu punya banyak simpanan.
Kurasa Adnan tersudutkan dengan wejangan dari kedua temannya, karena setelah itu dia menarik tanganku menjauhi Melodi dan Sagara yang tampak melambaikan tangannya.
"Jaga Adnan ya Sabilla!"
Melewati tikungan tajam hingga suara Sagara yang menggelegar itu tak dapat di dengar lagi, Adnan melepaskan tarikannya,"Maaf Billa, temanku memang begitu"
Aku lantas tertawa melihat Adnan yang seperti menahan malu. Padahal aku biasa saja. Tak ada yang harus di maafkan, dibanding Sagara dan Melodi, temanku jauh lebih senior dalam hal memalukan.
"Kenapa minta maaf Adnan? Aku justru berterima kasih pada mereka."
"Kenapa begitu?"
"Mereka menyelamatkan uangku."
Adnan tertawa mendengar jawaban jujurku. Lesung pipinya seolah memberi kesan dalam pada senyumnya.
Adnan, aku suka saat kau tertawa. Dimana bisa kubeli tawa seindah itu agar bisa kupandang setiap aku merindu?
"Jadi sekarang kau masih tidak mau mengatakan apa yang kau mau?" tanyaku pada Adnan dengan sisa tawa yang menenangkan.
"Aku hanya takut kau menolak Billa." ungkap Adnan yang bisa kusimpulkan bahwa Adnan tak suka penolakan.
"Bagaimana bisa tahu akhirnya, jika kau saja belum memulainya?"
"Jadi mau pulang gratis, Billa?"
"Dengan senang hati Adnan."
__
Adnan, sekarang aku jadi Rindu dibonceng gratis olehmu. Aku jadi rindu duduk dibelakangmu sembari menyandarkan tubuh lelahku pada punggung tegapmu. Apa tempat itu masih bersedia kutempati lagi, Adnan?
"Adnan, Sagara benar. Sekali-kali kau harus merasakan dunia yang beda. Kau harus mengikuti isi hatimu," pesanku saat motor Adnan sudah sampai di depan rumahku.
"Iya Billa."
"Apa ada seseorang yang kau sukai?"
Adnan yang awalnya ingin melajukan motornya, melirikku. Lantas mematikan kembali mesin motornya.
"Kenapa ingin tahu Billa?"
"Bolehkah berharap jika orang itu adalah aku?"
Adnan diam. Aku lebih dari kata diam. Menyesali pertanyaan yang seolah sudah tertahan lama di mulutku. Kenapa terburu-buru sekali Billa. Adnan pasti merasa tak nyaman.
"Maaf Adnan, pengharapanku berlebihan dan membuatmu kurang nyaman."
Adnan menatapku kemudian berucap,"Jangan menyimpulkan sesuatu terlalu dini Billa, dan jangan terlalu patuh pada harapanmu!"
Aku paham Adnan, sampai kapanpun kau tidak akan pernah bisa tergapai oleh aku yang selalu berandai-andai.
"Billa, kau ingin tahu sebuah rahasia?" tanya Adnan membuyarkan lamunanku.
"Melodi menyukaiku."
Lantas kenapa dia seolah mendukung Adnan denganku? Apa itu palsu?
"Tidak semua yang disuka harus di miliki sepenuhnya Billa. Begitu kata Melodi."
"Apa kau juga menyukainya?"
Adnan tersenyum, sekali lagi bulatan dalam di pipinya itu seperti mengejek keingintahuanku.
"Bagaimana bisa aku menyukai dua orang sekaligus?"
Aku berpikir keras Adnan. Tapi kenapa ucapmu selalu penuh teka-teki nan mendebarkan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Asing
Teen Fiction"Aku ingin di acara perpisahan sekolah, kau memberiku bunga," "Aku sudah memberikan hatiku untukmu Billa." "Tapi aku ingin bunga darimu Adnan," ucapku lagi sedikit merengek. "Iya Billa, akan kuberikan." "Janji ya akan memberiku bunga?" "Kenapa ingin...