Ivory memakan makan siangnya dengan tidak semangat. Otaknya masih dipenuhi pertanyaan yang belum terjawab. Pertanyaan tentang "siapa dalang dibalik misteri menghilangnya jantung orang-orang" belum terjawab. Zavier masih tutup mulut tentang hal itu. Dia seperti menyembunyikan sesuatu, tapi apa? Apa yang dia sembunyikan?
Ivory menghela napas lelah. "Bukan ini yang seharusnya kau pikirkan, Ivory." batin Ivory berusaha melupakan misteri itu. "Fokus saja pada sekolahmu," batinnya lagi menguatkan.
Baru saja dia berhasil menenangkan dirinya, seseorang yang tidak ia inginkan tiba-tiba datang. "Ivory? Sendirian?" tanyanya bingung.
Gadis itu hanya meliriknya. "Kau punya mata 'kan, Sean." ujarnya ketus.
Laki-laki itu tersentak dan tertawa kecil. "Ketus sekali. Ada apa? Apa ada yang mengganggu pikiranmu lagi?" Sean menarik kursi di depan Ivory, dan menemani gadis itu makan siang.
"Entahlah," Ivory menggedikkan bahu. Dia memasukkan nasi ke mulutnya, mengunyahnya, lalu menelannya. "Aku juga bingung." ujarnya kemudian.
Sean hanya manggut-manggut. Ternyata ada hal yang mengganggu pikiran Ivory selama ini. "Apa karena pemilihan Bintang Sekolah?"
Kening Ivory mengerut. "Bintang … apa?"
"Bintang Sekolah," Sean meletakkan sendoknya dan menatap Ivory. "Kau tidak lupa 'kan? Kau dan Zavier mengikuti seleksinya dan pengumumannya baru saja keluar."
Ivory tersentak. Dia tersedak nasi yang baru saja ditelannya. Setelah terbatuk-batuk beberapa kali, barulah dia buka suara. "Pengumumannya sudah keluar? Apa aku lolos?" tanya Ivory. Matanya seperti dipenuhi harapan.
Sean langsung mengalihkan pandangan. Terlihat jelas bahwa Ivory menginginkan posisi Bintang Sekolah itu. Siapa yang tidak mau? Menjadi terkenal dan mendapat perhatian spesial dari para guru. Semua murid pasti menginginkannya! Tak terkecuali Ivory.
"Mungkin tahun depan kita bisa mencobanya lagi," ujar Sean dengan suara pelan.
Mata Ivory membulat. Awalnya dia tidak mengerti apa yang dimaksud "bisa mencobanya lagi" namun, setelah beberapa detik dia mengalihkan pandangan. Dia menarik napas panjang. "Begitu ya, lalu siapa yang menjadi Bintang Sekolah tahun ini?"
Sean menggigit bibir bawahnya panik ketika Ivory bertanya seperti itu. Apakah dia harus jujur? Sean menatap mata Ivory yang dipenuhi rasa penasaran. Dengan perasaan resah, dia menyebutkan nama yang membuat Ivory tersulut emosi. "Lea Oslan."
* * * *
Ivory melangkahkan kaki dengan gontai menuju gerbang sekolah. Sudah waktunya bagi para murid untuk pulang ke rumah. Ada yang dijemput, naik sepeda, bahkan jalan kaki seperti halnya Ivory. Gadis itu masih memikirkan bagaimana bisa gadis seperti Lea terpilih menjadi Bintang Sekolah. Apa para guru tidak salah pilih? Dari sekian banyaknya peserta, mengapa harus Lea?
"Ah ya, terima kasih Pak Leo."
Ivory segera menghentikan langkahnya ketika mendengar suara bass laki-laki dewasa. Gadis itu mengintip dari balik tembok. Dia tahu bahwa menguping atau mengintip bukanlah hal yang baik, tetapi Ivory familiar dengan suara bass itu. Pemilik suara tersebut adalah, Ayahnya Lea.
Ivory mendengar Pak Leo dan Ayah Lea tertawa terbahak-bahak. Mereka sudah seperti teman dekat. Atau mungkin mereka adalah saudara jauh.
"Terima kasih karena telah mempercayakan anak saya untuk menjadi Bintang Sekolah, Pak Leo." Ayah Lea kemudian mengeluarkan segepok uang di dalam amplop dan mengulurkannya ke arah Pak Leo. Mata Pak Leo langsung membulat.
"Tidak masalah, Pak. Saya tahu bahwa Lea punya potensi dalam dirinya." ujar Pak Leo sambil tersenyum. Tak lupa dengan tangan terulur ke depan, menerima bungkusan amplop tersebut.
Mata Ivory membulat. Ternyata Lea memakai cara kotor! Memanfaatkan kuasa Ayahnya demi keegoisannya. Kasihan para peserta lain yang "benar-benar" memiliki kemampuan untuk menjadi Bintang Sekolah.
Tanpa pikir panjang, Ivory lari menjauh dari TKP. Ayah Lea melirik ke arah tembok tempat Ivory mengintip tadi. Beliau tersenyum miring dan berkata, "Oh, saya minta satu hal lagi. Saya tahu ada murid yang bernama Ivory di SMA ini. Buat nilainya hancur sehancur-hancurnya."
Mata Pak Leo membulat mendengar permintaan Ayah Lea. "Ah, tapi Pak—"
"Saya bayar dua— ah tidak, tiga kali lipat untuk Anda. Bagaimana?"
Pak Leo menelan ludah kasar. Ini penawaran yang menguntungkan, tetapi juga merugikannya. Bisa-bisa dia dipecat dari profesi guru dan tidak akan mendapatkan pekerjaan selamanya. Pak Leo terdiam sejenak.
"Ah, saya tahu apa yang Anda pikirkan. Jangan khawatir, selama ada saya, profesi anda akan baik-baik saja. Saya jamin itu."
Pak Leo mengambil napas panjang. "Biarkan saya berpikir untuk—"
"Tidak ada waktu untuk itu, Pak Leo." potongnya. "Saya sangat sibuk dan waktu saya terbatas. Cukup katakan "ya" atau "tidak" saja."
Pak Leo terlihat resah. Berulang kali dia memainkan kerah kemejanya. Keringat mulai mengalir dari dahinya. Ternyata permainan uang benar-benar membahayakan!
"Pak Leo!" Dari kejauhan, Zavier memanggilnya dengan kencang, hampir membuat Pak Leo tersentak.
"Kamu ini sangat tidak sopan!" semprotnya.
Zavier tersenyum kikuk. "Maaf Pak, tapi komputer di Laboratorium 1 error, Pak Leo bisa memperbaikinya sekarang?"
Wajah Pak Leo langsung sumringah. Beliau kemudian mengangguk dan segera pergi. Namun sayangnya Ayah Lea mencekal lengan Pak Leo. "Saya butuh jawabannya sekarang."
Zavier melirik dari sudut matanya. Dia kemudian tersenyum dan menepis lengan Ayah Lea. "Maafkan saya, Pak. Mungkin ini terlihat tidak sopan tapi, lima menit lagi Pak Leo ada rapat, dan komputer sekolah masih saja error jadi Pak Leo harus ke laboratorium sekarang." ujarnya kemudian melenggang pergi.
Ayah Lea tersenyum miring. "Dasar bedebah licik." umpatnya.
- FAVORITE VAMPIRE -
KAMU SEDANG MEMBACA
FAVORITE VAMPIRE
VampireKonon, vampir adalah makhluk yang setia pada pasangannya. Tapi, ketika vampir mencintai manusia, dirinya akan musnah! Hal ini terjadi pada Ziver. Ziver Arion Mahaprana, seorang laki-laki yang meninggal karena kecelakaan. Anehnya, dirinya malah hidup...