🎐 PROLOG

864 112 89
                                    

Daun-daun gugur menderai. Menutupi bangku yang ada di sisi utara sebuah taman yang berjarak tak jauh dari sebuah jalan. Jalan itu tak pernah lepas dari pandanganku. Pohon-pohon cemara yang kemarin tingginya tak lebih tinggi dari pohon ceri itu sudah lama ditebang. Kayu-kayu nya masih ada di sana, di sebelah pintu masuk taman yang bergapura bambu-bambu berwarna biru langit. Sedari tadi angin berhembus ganas. Daun-daun yang tadinya masih bertengger di ujung ranting, akhirnya terlepas juga. Bunga-bunga yang sewaktu aku datang masih berbaris rapi membentuk tulisan 'Taman Kaca' kini lemas tak beraturan.

Di sisi langit barat, banyak awan yang menggantung berkerumun. Abu-abu warnanya. Matahari yang tadi seakan menyeringai panas, kini tertutup awan yang mungkin saja membawa kabar akan datangnya badai malam ini. Angin bertambah kencang. Air-air mulai turun perlahan. Saluran irigasi kembali pada pekerjaan semula. Aku pergi ke seberang jalan depan taman untuk berteduh di depan toko barang-barang plastik. Aku heran, pada cuaca seperti ini masih ada saja orang yang bepergian. Termasuk aku. Jalan kini basah kuyup. Banyak genangan di sana-sini.

Aku berniat menunggu seseorang yang kupanggil Ziver. Aku selalu menunggunya di taman itu. Pagi tadi, televisi di channel tiga belas memberitakan bahwa di kota ini akan terjadi badai yang lumayan besar. Suhu yang tercatat pada termometer menunjukkan angka 23°C. Badanku terasa dingin. Bajuku basah tersiram air yang dicipratkan oleh mobil yang lewat dari arah barat tadi.

Tiba-tiba ada seorang laki-laki ikut berteduh di sebelahku. Bajunya basah kuyup setelah diguyur hujan yang baru saja turun. Tas ransel berwarna hitam yang terbuat dari kain beludru juga basah. Laki-laki itu beruntung, isi dalam tas itu tidak ikut basah.

"Kamu sudah menunggu lama?" tanyanya padaku.

Aku menggeleng. Aku mengulum bibir menahan senyum. Ziver menatapku dengan tatapan heran. "Kamu gak apa-apa? Wajahmu merah." ucap Ziver khawatir.

Aku memalingkan muka. "A-aku gak apa-apa." Ziver selalu sukses membuatku tersipu.

Hujan turun bertambah deras. Gaduh air yang mengalir ke atap kami terdengar menggerutu. Langit sepertinya sedang sangat bersedih. Entah karena ditinggal kemarau atau karena sebab lainnya. Beginilah saat hujan turun mengguyur, aku yang bebas menjadi tahanan yang dikurung di dalam rinai-rinai air yang telah diuapkan oleh matahari siang tadi.

JEGARR!

Gelegar petir terdengar sangat keras. Mungkin karena aku berada di luar ruangan. Refleks, aku menutup telinga dan mataku. Badanku bergetar. Aku takut sekali dengan petir.

Aku tersentak ketika Ziver memelukku. "Gak apa-apa. Kamu aman di sini." bisiknya. Ziver benar-benar membuatku nyaman. Aku mulai tenang dan Ziver menangkup pipiku.

"Lihat wajahmu. Lucu juga ya kalau lagi ketakutan." Ziver terkekeh. Aku mendelik mendengar ucapannya. Sedikit malu juga karena aku takut dengan petir. "Bercanda. Jangan marah gitu dong." ucap Ziver lagi sambil mencubit pipiku.

Aku memonyongkan bibir. "Gak apa-apa sumpah."

Lagi-lagi Ziver terkekeh. Ah, sumpah! Dia membuatku malu! Mata Ziver menyapu seluruh tempat yang ada di sana. Sepertinya dia sedang mencari seseorang atau sesuatu.

"Ada apa?" tanyaku.

"Bagaimana kalau kita ke sana, ke kedai teh di sebelah toko ini? Mungkin segelas teh Inggris bisa menemani kita sembari menunggu hujan reda," seru Ziver mengajakku menuju kedai teh di sebelah toko tempat kami berteduh.

"Hm?" sahutku sambil mendekatkan telingaku ke bibir Ziver meminta pengulangan. Yah, aku sedikit tidak mendengar apa yang diucapkan oleh Ziver karena hujannya deras.

"Mari ke kedai teh sebelah toko ini, ku dengar ada jenis teh baru yang kini menjadi minuman favorit orang-orang," nada Ziver bertambah tinggi. Ziver tak berniat memarahiku, hanya saja suara hujan begitu gaduh. Suara Ziver menciut dibuatnya.

"Boleh." jawabku menyetujui.

Ziver berjalan di depanku. Aku mengikutinya di belakang. Rambutnya yang mengkilat basah terlihat sangat indah. Langkah kami beriringan mencari tempat kering yang tidak tergenang air.

Tiba-tiba ....

Ckiitt....

BRAK!

"Akhhh!!" Aku menjerit sambil menutup mulut. I-ini bukan mimpi 'kan? Ziver tertabrak oleh mobil sport berwarna hitam. Di bawah hujan, tubuh Ziver tergolek lemas dengan lumuran darah.

"ZIVER!!" Aku menjerit memanggil namanya. "Ziver, bangun!! Kamu dengar aku 'kan? Kamu gak boleh tinggalin aku!!" Aku berteriak di bawah hujan. Tanganku tak henti-hentinya mengguncang bahu Ziver.

Aku yang tersulut emosi pun langsung menuju ke mobil sport itu. Aku memukul kaca mobil dan meminta pengendara itu bertanggung jawab. "Apa yang Anda lakukan?! Anda harus menolong pacar saya! Anda harus bertanggung jawab. Kalau tidak saya akan lapor polisi!" teriakku.

Pengemudi mobil sport itu meminta maaf dan membawa tubuh Ziver masuk ke dalam mobilnya. Aku juga ikut! Aku harus melihat kondisi Ziver saat di rumah sakit.

Aku terus-menerus memeluk dan menggenggam tangan Ziver berharap Ziver masih bisa merespon. "Ziver, bangun. Kamu dengar aku 'kan?" isakku.

"Kamu jaga diri baik-baik ya. Aku gak akan selalu ada di sisimu mulai sekarang." bisik Ziver membuatku tercekat.

"En-engga! Kamu gak boleh ninggalin aku!" teriakku.

"Cantiknya Ziver jangan nangis. Ziver selalu ada di hati kamu. Di sini tempatnya." Ziver mengarahkan jari telunjuknya ke dada ku. Aku yang mendengar itu hanya bisa menangis. Ziver tersenyum tipis dan berkata, "Selamat tinggal."

- FAVORITE VAMPIRE -

FAVORITE VAMPIRETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang